Kamis, 26 Maret 2009

original sin

Makalah sederhana ini ingin menampilkan sebuah pokok dilema teolog katolik yang mencoba membuat ajaran tradisional katolik dimengerti dan relevan pada zamannya. Para teolog tersebut seringkali harus bekerja dalam sebuah rumusan doktrinal yang telah berurat akar dalam tradisi katolik tetapi dibatasi oleh konteks historis dan budaya kepengarangannya.

PERMASALAHAN
Permasalahan yang dimunculkan dalam makalah ini adalah refleksi teologis mengenai dosa asal. Refleksi teologis mengenai dosa asal menurut ajaran gereja katolik harus menghadapi semacam dilema. Dilema ini muncul dalam suatu pertanyaan: Bagaiamana memasukkan wawasan-wawasan yang bersifat situasional, eksistensial dan evolusioner dewasa ini ke dalam upaya pengartian doktrin tersebut sembari tetap setia pada rumusan konsili Trente. Rumusan konsili Trente sendiri menegaskan bahwa dosa asal diteruskan kepada keturunan Adam dengan cara propagatione non imitatione (dengan prokreasi bukan karena meniru. Ajaran doktrin tersebut memunculkan implikasi-implikasi yang jelas antara lain: penyamaan dosa dengan tindakan prokreasi sosial dan nuansa hubungan biologis ras manusia. Oleh karena itu, teolog-teolog katolik telah berusaha untuk menemukan arti dan maksud yang otentik dari rumusan Trente dengan memberikan arti yang lebih luas dari kata “generasi” dari sakedar prokreasi secara fisik.

TUJUAN PAPER.
Kiranya, tulisan ini mempunyai dua tujuan yang akan dicapai yaitu; pertama, menguji secara singkat reinterpretasi teologis dari istilah ‘propagatione’ dari ungkapan konsep dosa dunia. Kedua, menegaskan bahwa sebuah interpretasi psikoanalisis mungkin membantu dalam memperjelas arti tradisional dan maksud semula dari rumusan doktrin konsili Trente tersebut.

Konteks tulisan
Setiap rumusan tentu tidak dapat begitu saja dilepaskan dari konteks yang melingkupinya. Demikian juga maksud dari rumusan propagatione non imitatione merupakan suatu usaha untuk menolak pandangan Pelagius yang mengatakan bahwa setiap individu terseret dalam dosa oleh teladan Adam dengan model peniruan (imitatione). Formula ini dimaksudkan untuk mempertahankan universalitas dosa dan kekhasan baptisan bayi. Namun demikian teolog katolik dewasa ini tidak hanya berhenti pada sejarah untuk menjelaskan mengenai istilah propagatione (procreasi), melainkan mencoba menjabarkan secara lebih luas dari sekedar arti prokreasi secara fisik. Proses prokreasi tidak berhenti pada kelahiran tetapi juga dalam keseluruhan proses termasuk perkembangan relasi setiap individu dalam dunia manusia. Namun demikian dosa dimana manusia mencapai solidaritasnya dengan yang lain merupakan dunia yang penuh dosa. Dengan demikian dosa asal dimengerti ‘ tidak sebagai sesuatu yang statis begitu manusia lahir, melainkan secara instrinsik sebuah dimensi historis manusia dalam dunia yang penuh dosa dan tumbuh sebagai partisipasi kita dalam perkembangan kemanusiaan yang penuh dosa.”
Dalam sebuah pandangan “situasional”, dosa adalah “asal” karena sudah terberi bukan karena kodrat individu manusia melalui prokreasi fisik, melainkan karena situasi dimana manusia lahir dan menjadi bagian di dalamnya. Lebih lagi, partisipasi manusia dalam dosa-dosa dunia bukan pertama-tama karena sebuah keputusan yang sadar (non imitatione) . Melainkan dosa mempengaruhi setiap manusia sebelum individu tersebut mampu mempertanggungjawabkan keputusan moralnya. Demikian kiranya sesuai dengan pandangan Dubarle:
Because he comes from a race and an environment contaminated by sin, he is himself tainted by this contagion, which enter his being through all the avenue of intrapersonal influence, before he is able to offer the least resistence.
Mungkin sekali pandangan “situasional” ini lebih memuaskan daripada pandangan “personalis” yang berpendapat bahwa setiap individu mau tidak mau masuk ke dalam dosa personal. Namun pandangan situasional rupa-rupanya menyeimbangkan asumsi yang serampangan mengenai pengaruh psikologis dan lingkungan yang berbahaya. Mau tidak mau akan ada luka atau kerusakan kontak di antara aneka macam tingkatan relasi manusi dimana anak kecil menjadi terlibat dan dia membutuhkan pembentukannya, sebagaimana ia membutuhkan makanan untuk membentuk tubuhnya.
Hal senada dikemukakan oleh Louis Monden. Menurutnya, seorang anak sebelum mengalami kebebasan secara sadar sangat dipengaruhi oleh seluruh ketamakan, nafsu, kesombongan, memecah belah, perselisihan dan keirihatian dari kelompok manusianya. Bagi Monden, dosa asal adalah sebuah situasi:
Yang dihasilkan dalam umat manusia sejak dari awal sebuah pilihan awal yang terus berkembang secara manusia sebagaimana umat manusia berkembang dan tumbuh lebih kuat dengan dosa –dosa setiap manusia individu. Di sisi lain, setiap manusia, bahkan sebelum dia mampu menggunakan kebebasannya sesungguhnya secara historis disituasikan dalam umata manusia yang tidak dapat dihindari ditangkap dalam suasana pengaruh kejahatan, sebagai sebuah daerah gelap yang tidak dapat ditakhlukkan oleh kekuatannya sendiri dan yang menghalangi untuk bertemu dengan Tuhan.
Menurut Sharon MacIsaac, ajaran mengenai dosa asal menyampaikan kebenaran bahwa manusia dibentuk oleh lingkungan pada sebuah taraf sebelum mampu memilih. Baginya mungkin sekali bahwa pengaruh lingkungan dapat menjadi salah satu penjelasan yang adekuat terhadap ajaran tradisional propagatione non imitatione.
Kiranya dapat dimengerti jika pengaruh-pengaruh lingkungan dimengerti tidak dalam arti meniru sebagaimana pemahaman superfisial Pelagian yang mengatakan kebebasan untuk meniru, tetapi dihasilkan dalam arti penyelidikan Freud dan ilmu-ilmu sosial yang ulung. Dalam arti demikian, seorang anak dilahirkan dalam sebuah situasi yang penuh kedosaan and yang membentuknya sebelum anak tersebut dapat memilih dan menghormatinya. Suasana tersebut bersifat operatif dari saat dilahirkannya.
Christian Duquoc menggambarkan dosa dunia sebagai sebuah kekacauan tanggung jawab dan kesalahan yang secara konstitutif dalam realitas dalam hubungan saling ketergantungannya sebagai ketulian terhadap kehendak Allah.Duquoc mengindentifikasikan kecenderungan ini untuk menginterpretasikan dosa asal sebagai dosa dunia sejauh berhubungan dengan sebuah perubahan dalam penekanan dari “historical antecedende” ke dinamisme eskatologis sebagau gua aliran utama pendekatan dalam reinterpretasi ajaran katolik mengenai dosa asal dewasa ini. Kecenderungan yang kemudian melibatkan sebuah pandangan yang prosesif dan evolusioner yang melihat dosa asal tidak seberat sebagai suatu hasil tinggalan yang tidak membahagiakan masa lalu tetapi sebagai kebalikan pada saat ini antara sejarah kita dan dinamiskan dari yang mutlak. Misalnya tegangan antara siapa dirinya dan orang yang dipanggil untuk menjadi dalam Kristus.
Teologi mengenai dosa asal sendiri memunculkan dua pertanyaan dasar; pertama ketika dosa asal diidentifikasikan sebagai dosa dunia, apakah teologi tersebut menyediakan sebuah reinterpretasi yang memadai untuk kata “generasi”? Dalam usaha menggali arti generasi untuk menghindari penyamaan bahwa dosa dengan tindakan prokreasi yang tidak dapat diterima, apakah kita berakhir dengan mencap sebagai keseluruhan proses pemeliharan dan pendidikan anak-anak kita penuh dosa? Mungkin lagi bahwa perluasan dalam pemahaman mengenai generasi justru mendapatkan kesan unsur imitasi dari pada sebuah generasi. Jika tidak tentu saja, orang dapat secara kaku pada arti imitasi terhadap kesadaran, imitasi yang dipilih secara bebas. Di samping menangkap maksud bahwa rumusan konsili Trente tersebut dimaksudkan untuk menghukum sebuah pandangan kaum Pelagian, maksud lain yang adalah untuk mengidentifikasi bahwa istilah ini mengandung maksud dosa asal sebagai sebuah yang terdapat dalam kodrat manusia daripada seagai sesuatu dari lingkungan sekitarnya ?
Kedua’ mungkin dapat dimaafkan untuk perubahan besar: apakah dua aliran interpretasi (bersifat situasional dan evolusioner adalah cocok untuk keseluruhan?

Apakah konsep dosa dunia yang mampu menarik sebagaimana terjadi pada visi akan sebuah situasi penuh dosa yang meningkat dimana individu-individu harus hidup memasuki konflik dengan sebuah visi yagn lebih optimis mengenai pemenuhan eskatologis sebagai puncak proses sejarah perjuangan manusia? Jika orang melihat dirinya tak berpengharapan terjaring dalam dunia yang penuh dosa, pilihan-pilihan mereka akan namapak menjadi:
¨ Meninggalkan dunia dan mencari sebuah model keselamatan individualistik
¨ Mengejar sebuah jalan idealisme dimana otentisita diri mereka dan keselamatan dunia sebagai hal yang dapat dicapai manusia. Ini bertentangan dengan iman.
Penulis menegaskan bahwa kesadaran akan dosa yang merupakan suatu pra kondisi yang dibutuhkan untuk beriman tidak berasal atau muncul dari realisasi solidaritas seseorang dengan kemanusiaan yang penuh dosa melainkan dari realisasi ketidakmampuan orang itu itu sendiri dan “karya baik” peradapan manusia untuk menjadi otentik / membenarkan eksistensi seseorang. Untuk santo Paulus, Iman menjadi mungkin hanya ketika orang diyakinkan akan ketidakmampuan karya hukum.
Pandangan bahwa kebutuha manusia untuk penebusan menjadi nampak meyakinkan hanya pada titik tertinggi pencapai religius, moral dan budaya sangat cocok dengan pandangan evolusioner dosa asal. Hanay pandangan seperti itu menemukan sebuah tampat bagi kemajuan dan inisiatif (sebagai pembuka yang dibutuhkan iman). Keselamatan tidak lagi hanay sebagai penyelamat individu-individu dari dunia penuh dosa yang tak berpengharapan tetapi sebai pencapaian eskatologis tujuan usaha manusia yang transenden, contohnya tujuan yang melampaui pencapaian usaha manusia.
Theodore Rozask berpendapat: rumusan terbai untuk menggambarkan kondisi manusia TIDAK: semakin berdosa individu semakin dia menyadari kebutuhan akan penebusan tetapi karena semakin religius seseorang menjadi semakin dia menyadari kebutuhan akan penebusan. Dalam bahasa Roszak” everything get worse as they get better”.

II
Pada point ini, pengarang yakin bahwa sebuah interpretasi psikoanalisis mengenai kata “generasi” mungkin (membuktikan) sangat membantu dalam diskusi.
Mengingat konsep dosa dunia mempertanggungjawabkan ketidaktertolakan dan universalitas dosa dalam arti pengaruh lingkungan yang terluka kepada seornag anak sebelum anak itu mampu memilih berdasarkan kesadaran moral, psikoanalisis perkembangan manusia menempatkan asal kesealah secara tepat dalam usaha-usaha unsur lingkungan anak untuk menyalurkan nilai-nilai moral. Memakai pandangan ini terhadap dosa asal melibatkan proses reinterpretasi istilah generation dalam terang sebuah konsep seperti generativity Erik Erikson jelaslah bahwa reinterpretasi generasi sebagai sebuah proses dalam kosep dosa dunia di dasarkan pada wawasan psikologis ke dalam kodrat pembentukan manusia. Namun demikian, teori psikologi dapat digunakan sebagai alat interpretatif untuk sebuah pemahaman teologis seperti Tuhan, pembenaran, rahmat dan penebusan. Jika kita ingat bahwa kata-kata itu adalah konseptualisasi pengalaman manusia yang dapat diakses ke dalam analisa psikologis. Dalam bidang antara psikologi dan teologi, apa yang dicoba untuk ditemukan adalah dasar eksperensial umum baik bagi wacana teologis maupun psikologis.

Kata seward Hiltmer: Jika studi teologi berisi tentang Tuhan, manusia, dosa dan penyelamatan, kemudian semacam pemahaman psikologis yang sekarang menjadi mungkin untuk dihubungkan ke empat bidang di atas. Dengan kata lain, ada suatu arti bahwa pengetahuan psikologis adalah sebuah aspek dari keseluruhan pengetahuan..

Dialog level teologi dan psikologi ini adalah pandangan fundamental kodrat manusia dan kondisi manusia yang implisit dalam wacana psikologis. Dalam level ini bahasa psikologis dan religius bersinggungan dalam menggambarkan tipe-tipe pengalaman manusia yang pasti. Dalam konteks makalah ini, konsep arti eksperiensial teologis yang sedang kita temukan kembali adalah konsep mengenai dosa asal. Apapun arti konsep ini nantinya, dipaskitkan akan merujuk pada pengalaman kita mengenai dimensi tragis eksistensi manusia. Rasanya tepat untuk menempatkan konsep ini ke dalam dialog Freudian dan psikoanalisis pada pengalaman yang sama.
Bagi Erikson, istilah “generativity” menampilkan sebuah perluasan logis dari model perkembangan manusia ala psikoseksual Freud. Bagi Freud, titik puncak perkembangan adalah seksualitas genital dalam kedewasaan masa muda. Erikson memperluas pandangan tentang manusia dengan menunjukkan intimitas seksual “menuntun pada sebuah perluasan yang teratur dari kepentingan ego dan investasi libidinal dimana sedang dibangkitkan. Investment libidinal oleh Erikson dinamakan generativity = perhatian dalam menetapkan dan menuntun generasi berikutnya.
Konsep generativity berangkat dari sebuah interpretasi dari kata generasi, bukan tindakan prokreatif tersendiri tetapi sebuah proses. Bagaimanapun juga proses ini tidak lagi proses negatif dari dipadukan ke dalam lingkungan yang penuh dosa dengan menghasilkan konsekwensi kejahatan, tatapi sebih sebuah proses parenting, nurturing dan educating dimana kemanusiaan tidak membiarkan yang jelek menggerogoti anak, tetapi yang terbaik menyalurkan prinsip-prinsip dan nilai moral.
Dalam teori psikoanalisis ditegaskan bahwa pada saat semacam itu, menginternalisasikan prinsip-prinsip moral sedemikian rupa yang membuat sang anak mengalami pengalaman bersalah pertama kali dan dalam bahasa religius dikenal sebagai kesadaran akan dosa.
Untuk membahas, perlu mengingat rumusan final teori insting Freud. Ia melihat dualisme sebagai karakteristik kondisi manusia digambarkan sebagai konflik antara Eros, isnting kehidupan dan Insting kematian. Eros tidak lagi diidentifikasi secara sederhana dengan seksualitas tetapi sebagai sebuah ekspresi dari sebuah insting yag lebih dasar yagn berfungsi untuk menjaga substansi hidup dan bekerja sama (bergabung dengan kesatuan yang lebih luas). Eros adalah kekuatan yang menyatukan yang dilayani oleh proses civilisasi yang mempunyai tujuan untuk menggabungkan setiap individu, kemudian keluarga, ras, masyarakat, dan bangsa ke dalam satu kesatuan yang besar yaitu umat manusia. Insting kematian adalah sebuah kekuatan yang memecah belah. Insting ini berfungsi untuk membubarkan kesatuan yang dicapai oleh kesatuan-kesatuan hidup individu. Insting kematian bersifat operatif. Dalam kematian fisik terurai kesatuan organisme sel dan kembali ke dalam sebuah keadaan in organik. Hal ini juga berlaku dalam mekanisme-mekanisme seperti self preservation yang mengurai kesatuan interpersonal.
Peradaban (pada Freud), disokong oleh konflik Eros dan kematian. Agresivitas manusia bersumber dan mewakili yang utama kekuatan kematian. Agresi merupakan hasil dari diubah kekuatan destruktif budaya kematian. Kemudian menjadi tugas peradaban melalui institusi kulturalnya (Gereja, Negara, keluarga, sistem hukum dll) untuk menekan ekpresi luar dari insting kematian. Kemudian menciptakan kondisi-kondisi dimana Eros dapat berkembang dan menang atas kematian. Proses tersebut bagaimanapun juga berubah menjadi self-defeating (penahklukan diri) di bawah pengaruh represi-represi peradaban, sekali lagi agresi menjadi terinternalisasi, tetapi pada saat ini dalam bentuk rasa bersalah, karena agresivitas yang direpresi disediakan oleh superego dan kembali lagi ke ego seorang diri. Insting kematian sekaran dialami dalam bentuk rasa salah dan kebutuhan untuk hukuman. Dalam usaha untuk membuat Eros menang atas kematian , secara paradoks peradaban sukses hanya dalam membawa masyarakat di bawah dominasi insting kematian dalam bentuk kesalahan. Freud tampak telah menerima peradaban sebagaimana Paulus menerima hukum Musa, sebagai otoritas asing yang menjanjikan kehidupan tetapi menyalurkan kematian dalam bentuk kesalahan (Rom 7:9-10)
Dalam hal ini internalisasi larangan-larang kultural terjadi pada fase oedipal perkembangan anak. Bagi Freud, tugas perkembangan di tahap ini merupakan resolusi oedipus complex secara sukses. Kompleksitas perasaan ditambahkan oleh Freud pada anak usia 4-5 tahun terhadap orang tuanya. Ketertarikan kepada ibunya sebagai sebuah obyek cinta seksual, perasaan benci dan cinta yang ambivalen terhadap ayahnya sebagai seorang pesaing untuk cinta sang ibu. Dalam pandangan Freud, ketika kompleks dapat dipecahkan secara sukses dua hal akan terjadi: anak meninggalkan ibu sebagai objek seksual dan cintanya untuk si ibu menjadi “tujuan yang malu-malu” afeksi yang lunak; yang kedua, si anak akan mengidentifikasi dengan ayahnya, memperkuat maskulinitasnya dan menginternalisasikan perintah-perintah dan larangan-larangan ayahnya. Hasil dari pembatinan ini adalah pembentukan superego dan permulaan kesadaran. Dengan cara ini akan mempu mengatasi permusuhan dengan ayahnya dengan memindahkan sumber-sumber larangan dan tantangan-tantangan terhadap dorongan-dorongan instingtual dari sebuah sumber dari luar (ayah) keapa sebuah sumber dari dalam (superego).
Pembatinan dari otoritas ayah adalah permulaan proses internalisasi larangn-larangan kultural peradaban . Dalam hal ini sang ayah menampilkan diri sebagai otorita budaya yang asing yang memutuskan apa yang baik dan apa yang jahat. Sebagai seorang anak yang tumbuh, internalisasi otoritas yang sama akan terwujud dalam bentuk-bentuk hidup bersama yang lebih lebar mengatasi keluarga. Kemudian “ hilangnya kebahagiaan melalui tingginya rasa salah” dimana Freud melihat sebagai harga dari semacam pembatinan otoritas secara terus menerus diperkuat.
Karena budaya taat terhadap sebuah rangsangan erotis internal yang menyebabkan manusia menjadi satu dalam sebuah kelompok yang terajut secara dekat, budaya hanya dapat mencapi tujuan tersebut melalui sebuah penguatan rasa bersalah yang semakin meningkat. Apa yang dimulai dengan relasi dengan sang Ayah disempurnakan dalam relasi terhadap kelompok.
Perhatian bahwa sementara Freud setuju bahwa anak sampai pada sebuah perasaan bersalah melalui kontak dengan lingkungan, kodrat untuk kontak tersebut berbeda secara keseluruhan dari apa yang ditegaskan oleh teologi mengenai dosa dunia. Dalam pandangan Freud, hal itu bukanlah pengaruh-pengaruh jahat budaya yang membantu perkembangan rasa bersalah dalam individu. Melainkan lebih hal ini merupakan usaha-usaha terbaik budaya dari sisi individu- usaha dari orang tua untuk menularkan nilai-nilai budaya dan moral dan usaha-usaha lembaga budaya untuk menuntun kemanusiaan menuju tujauan peradaban “dorongan-dorongan erotis” seperti persatuan “seluruh manusia “ secara mutlak (kerajaan Allah)- yang tidak dapat ditolak dapat menghasilkan rasa bersalah.
Mengapa harus terjadi demikian? Mengapa usaha-usaha mulia manusia yang beradab menjadi semacam penahklukan diri? Jawaban Freud adalah bahwa akar dari masalah tidak terletak dalam institusi budaya umat manusia tetapi dalam kodrat manusia individu itu sendiri? Seperti dualitas Eros dan kematian. Bagi Freud, dorongan negatif yang merusak berada menjadi bagian dari peradaban, sebagaimana Paulus mengatakan bahwa dosa merupakan bagian dari hukum. “ Sin was in the world before the law was given, but sin is not counted where there is no law (Roman 1:5) . Dosa sebagai sebuah yang terberi dalam existensi manusia, menjadi tampak menyakitkan melalui pelanggaran terhadap hukum yang menginspirasikan. Kesalahan bagaimanapun juga sebagai kesadaran penuh dosa yang menyakitkan, adalah hasil perjumpaan seseorang dengan hukum. Hal ini searah dengan pandangan Freudian bahwa kesalahan adalah hasil perjumpaan individu dengan represi budaya peradaban. Baik Freud maupun Paulus setuju bahwa dosa dikandung sebai sebuah egoisme yang bersifat memecah dan mengasingkan yang bertentangan bahwa “kehidupan” adalah obyek usaha peradaban dan religius, berakar dalam kodrat manusia individu and apa yang dihasilkan oleh kontak individu dengan lingkungan budaya dan religius buakanlah dosa melainkan kesadaran akan dosa seperti, kesalahan.
Apa yang diteruskan oleh generasi? Jika oleh generasi kita maksudkan dengan seluruh proses parenting, nurturing dan educating, sebagaimana ditegaskan oleh Erikson dengan istilah ‘generativity”, kemudian apa yang diteruskan adalah sebuah rasa bersalah. Sekarang kesalahan secara tidak langsung menyatakan tanggung jawab personal dan kemudian ada dalam pelanggaran larangan-larangan religius dan budaya bahwa tanggungjawab gagal. Tetapi pada saat yang sama kesalahan dikenali bahwa ada sebuah aspek di luar kemauan terhadap dosa yang menginspirasikan pelanggaran. Aspek di luar kemampuan ini – hukum-hukum dalam anggota-anggotaku ini – adalah sebuah pemberian yang eksistensial, dan bagaimanapun juga kondisi kemanusiaan secara universal. Dalam beberapa ajaran dosa asal, ada tegangan antara dua unsur-unsur, universalitas dan tanggung jawab personal. Maksud yang jelas dari mitos mengenai Adam adalah untuk menjelaskan universalitas dosa. Dapat dicatat di sini, dalam penyampaian, bahwa teori Freudian dalam primal horde dapat dibaca sebaai sebuah tipe mite yang sama. Sebagaimana orang kristen setiap individu mengulangi dosa Adam, bagi Freud setiap dalam pengalaman oedipus, menghidupkan kembali pengalaman primal horde..
Dalam kedua kasus, bagaimanapun juga, mite tersebut memberikan sebuah ekspresi terhadap satu kebenaran eksistensi manusia tanpa menerangkan nya ke dalam hubungan sebab akibat. Jika kita mengambil pandangan eskatologis mengenai dosa asal yang disebutkan di atas, kemudian dosa menjadi kondisi universal dari kemanusiaan yang tidak tertebus, atau kontradiksi antara eksistensi seseorang saat ini eksistensi seseorang yang hanya dapat direalisasikan dalam pemenuhan janji eskatologis dalam Kristus. Pengalaman yang menyakitkan dari jarak antara eksistensi aktual dan mahkluk esensial adalah pengalaman umat manusia universal, dan ini menampilkan aspek dosa yang ada di luar kemampuan.
Mungkin bagaimanapun juga, perlu untuk memelihara kedua arti dari “generasi” sebagai rujukan untuk peristiwa kehamilan dan kelahiran dan juga untuk proses generatif yang digambarkan oleh Erikson. Dilahirkan berarti masuk eksistensi umat manusia dan untuk menanggung alienasi dari esensinya sendiri yang menjadi tanda dari eksistensi tersebut. Generasi, dalam hal ini berarti merujuk pada masuknya setiap individu dalam eksistensi manusia yang oleh Paul Tillich menampilkan sebuah kejatuhan dari esensi ke dalam eksitensi, sebuah masuknya kedalam keterbatasan seseorang yang termasuk ketidakterbatasan. Tetapi generasi dapat juga dimengerti sebagai proses dimana dengan itu setiap individu menjadi sadar akan kondisi realnya, misalnya proses religius dan budaya dari “makan dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat”, dari pembatinan nilai-nilai moral dan budaya. Proses ini membawa rasa bersalah dan tanggung jawab personal. Kedua interpretasi istilah “generasi ‘ adalah secara fundamental bertentangan dengan generasi yang dirumuskan oleh teologi mengenai ‘dosa dunia” . Generasi sebagai “kelahiran” menegaskan bersifat personal daripada sebagai sebuah pemahaman dosa asal secara situasional. Dosa dilihat sebagai sebuah yang terberi dalam kodrat manusia daripada sebasi sesuatu yang diperoleh dari lingkungan. Generasi sebagai sebuah proses di sisi lain, dilihat sebabagai sebuah proses yang berbeda secara fundamental dari apa yang ditegaskan oleh konsep mengenai dosa dunia. Dosa bukanlah hasil dari sebuah pengaruh lingkungan yang jahat; dosa atau kesadaran kita akan dosa adalah secara paradok merupakan hasil dari pengaruh lingkungan yang bermanfaat. Penafsiran seperti ini menurut penulis menjadi lebih memelihara dengan maksud rumusan konsili Trente yang menekankan dosa pada individu intu sendiri bukan pada lingkungan.
Harus dicatat di sini, sebagai kesimpulan, bahwa sebagaimana yang dicatat di atas, doktrin mengenai dosa asal menghadapi tantangan untuk mendamaikan tanggung jawab personal dengan universalitas (dan bagaimanapun juga sebuah aspek yang tidak diiingini) dosa. Dalam fakta pandangan Tillich tentang interpretasi kejatuhan, yang kita rujuk tampak menekankan aspek universal dan “diluar kemauan’ dosa , dan menegaskan bahwa ciptaan tidak baik, point-point ini yang perlu dilihat:
1. Alternatif terhadap interpretasi Tillich akan tampak menempatkan sumber kejahatan dalam kebebasan memilih manusia. Pilihan ini memunculkan pertanyaan lebih jauh mengenai otonomi Allah dan kemahakuasaannya atas ciptaan. Lebih lagi, pandangan ini gagal untuk secara kuat mempertanggungjawabkan konsep universalitas dosa.
2. Tillich sama sekali tidak mau menolak kebaikan ciptaan secara esensial atau kodrat manusia. Posisinya adalah bahwa konsisi esksistensi aktual kita ini adalah satu dari pemisahan kebaikan yang esensial. Dosa adalah keadaan keterpisahan dari Allah, dari sesama dan dari jati diri esensial kita sendiri.
3. Kebaikan ciptaan secara umum dan kodrat manusia secara khusus, menurut penulis tidak bisa dimengerti dalam keadaan yang sederhana atau secara ontologis. Kita tidak dapat bertanya dengan term yang sangat simple, “Apakah ciptaan itu buruk atau baik?” kalau simple kita akan gagal mempertahankan kualita perkembangan dan penebusan menjadi manusia. Pandangan Tillich tampak menegaskan bahwa kebaikan esensial kodrat manusia bukanlah sesuatu yang terberi tetapi tujuan yang akan diraih melalui sebuah proses perkembangan yang memasukkan sebuah faktor penebusan. Dengan kata lain, kebaikan kodrat manusia yang esensial menampilkan tujuan perkembangan manusia, tetapi sebuah tujuan yang transenden yang mengatasi pencapaian manusia dan dapat direalisasikan, dalam pandangan kristen hanya melalui rahmat yang terwujud dalam Yesus Kristus. Untuk memelihara kebaikan kodrat manusia yang esensial tidak perlu untuk percaya bahwa kebaikan sepenuhnya diaktualisasikan dalam peristiwa kelahiran. Seperti ciptaan yang lain, kita sedang “enunggu dengan penuh kerinduan” pada tingkat pemenuhan. Dan kita, “mengeluh dalam hati batin “ karena pemenuhan keselamatan yang kita inginkan bukanlah fakta yang sudah terpenuhi melainkan sesuatu yang harus kita tunggu dengan sabar (Rom 8:18-25)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar