Sabtu, 28 Maret 2009

Rindu akan keselamatan

Tuhan,
batinku diliputi kegelapan.
Derita dan sakit tak tertanggungkan
menyelimuti aku.
Apa yang kubangun bertahun-tahun
hancur berantakan
remuk seperti keremukan akibat gempa bumi.

Aku berdiri goyah tanpa kepastian
di tengah puing-puing kehendakku
dan aku berseru pada-Mu dengan sisa-sisa kekuatanku.

Tuhan,
Kau hampirkan padaku jalan yang penuh penderitaan ini
agar di kedalaman jiwaku
aku dapat mengalami kesembuhan yang sejati.

Tuhan,
Kau pimpin aku keluar
dari paksaan dan tekanan kekuatan di luar diriku
yang asing bagiku
dari ketakutan-ketakutanku yang tak nyata dan semu
dan Kau bimbing aku untuk mengalami
bahwa diriku Kauterima seperti apa adanya aku.

Tanpa ragu-ragu
aku berseru kepada-Mu
dan Kau menyembuhkan aku
melewati jalan dan cara yang bertahun-tahun lamanya
agar aku bisa menjadi diriku sendiri.

Berkat di Pagi Hari

Tuhan, Engkaulah sumber kehidupanku
dalam kepercayaanku pada-Mu
semoga aku boleh memulai hari ini
dengan kelimpahan berkat-Mu.
Juga bila nanti terjadi padaku
hal yang tak menyenangkan hatiku
berkenanlah Eengkau selalu
menunjukkan cinta-Mu yang lebih penuh padaku.

Tuhan, Engkaulah pecinta langkah-langkah kecilku
dari berkat yang Kauturunkan dari tangan-Mu
semoga aku boleh menerima dan mengalami hari ini.
Semoga semua anugerah-Mu itu benar kusadari
juga di mana aku merasa tak aman dan pasti
dan dicekam ketakutan terhadap segala hal
yang akan menimpa aku kemudian.

Tuhan, Engkaulah pembuat sejarah hidupku
semoga aku aku boleh mempercayakan hari ini pada-Mu
hari yang mungkin akan berlalu
dengan segala teka-teki dan pertanyaannya
tapi juga dengan segala kegembiraan dan keceriaannya.

Tuhan, Engkaulah masa depanku
semoga aku boleh menimbang hari ini dengan cara yang baru
dengan pengharapan yang menegangkan tapi menyenangkan
karena hari ini Engkau akan mengirimkan padaku
apa yang kubutuhkan agar aku bertahan dalam hidupku.

Ken Desi

Ken Desi

Angin bulan purnamakala
meniup di sela-sela paha walawala.
Angin belalang dengan sungutnya
menebarkan harum cumbu cumbanarasa
di balik kainnya yang berceplok-ceplok darah.
Sudah tersibak pahanya yang indah
cahaya bersinar dari sela-selanya
cahaya manitra berkilatan dengan bajradhara
menyemburkan sejuta petaka.

Kebo Ijo, kau telah mati kena petakanya
ditusuk pusaka cumbana
ketika langit hijau dengan harum asmaranya.
Kebo Ijo, kau telah menjelma
menjadi secarik busana
hijau daun warnanya
menutupi paha-paha jelita.

Kebo Ijo, sekarang telah menjadi ijo.
Ijo yang membawa petaka bagi para lelaki.
Maka lelaki-lelaki itu pun meneriakinya “ijo”
Seperti dulu ketika Kebo Ijo dicacimaki:
“Kebo Ijo, kaulah yang membunuh raja”

“Ijo”, makin keras lelaki-lelaki itu berteriak
tak sabar lagi mereka
ingin segera menelanjangi dan menikmatinya.

Ya, dia adalah Ken Dedes yang hidup kembali
lihatlah buah dadanya menyimpan purnamakala
pahanya indah serupa kaki wala-wala
dari sela-sela secarik busananya
terpancar hijau yang mempesona.

-Ya, dia adalah Ken Dedes, permasyuri Singasari
-Bukan, Ken Dedes adalah orkes yang mengiringi
aku menyanyi. Aku bukan Ken Dedes. Aku Ken Desi.
-Tidak, kau adalah Ken Dedes. Lihatlah, hanya secarik
busanamu, dan dari sela-sela pahamu bersinar
cahaya hijau seperti cahaya permasyuri Singsasari.

Ijo. Ijo, ijo…..
Lelaki-lelaki itu berteriak
terbenam dalam cumbu cumbana yang nikmat
Malam pun hangat bertetesan keringat
dan bulan indah membulat
berendakan paha Ken Desi yang telanjang bulat.

Kamis, 26 Maret 2009

Tony Melendez

Kisah Tony Melendez

Tony Melendez tidak bisa bertepuk tangan atau menyalami tanganmu tetapi ia dapat memetik gitar. Meskipun Tony dilahirkan tanpa tangan, ia tumbuh berkembang menjadi seorang gitaris yang handal. Ia telah menerima Inspirational Hero Award dari NFL Alumni Association at Super Bowl XXIII di Miami.

Tony Melendez telah dilahirkan tanpa tangan, tetapi keterbatasan ini tidak mampu menghentikannya untuk menari, berbicara, bermain gitar maupun menikmati hidupnya secara penuh.

Tony dilahirkan tanpa tangan pada tahun 1962 sebagai akibat ibunya yang meminum pil anti mual (Thalidmide). Maka ia dikenal sebagai “a thalidomide baby”. Ia dibawa ke Los Angeles dari Nicaragua untuk mendapatkan tangan palsu. Ia menggunakan tangan buatan sampai usia 10 tahun ketika ia menyimpannya.”Aku merasa tidak enak,” dia menerangkan,”Aku dapat lebih banyak menggunakan kakiku.”Kecendurangannya untuk menggunakan kakinya meluas ke bidang-bidang lain dari sekedar perhatian sehari-hari. Ia ingat,” pertama kali, aku mulai bermain menekan tuts tuts organ. Kemudian di SMA saya mulai bermain-main dengan gitar dan harmonika.” Ia juga mulai menulis lagu-lagunya sendiri. Apakah sekedar bermain-main dengan gitarnya atau mengikuti rutinitas SMA, Tony tidak pernah membiarkan cacatnya menjadi halangan.”Saya merasa nyaman dengan apa yang kukerjakan.”

Ketika di SMA inilah ia terlibat penuh di Gereja Katolik.” Saya ke Gereja ketika saya masih anak-anak karena orang tua saya yang mengajaknya.Kegiatan ini mulai kutinggalkan ketika aku beranjak dewasa. Ketika di SMA, saudaraku selalu berkata,: ayo, kamu harus juga pergi ke Gereja. Bagus”. Saya kembali berangkat ke Gereja dan mempunyai teman yang banyak, dan perubahan hidup.

Pada saat itu, ia mempertimbangkan untuk menjadi imam tetapi tidak bisa karena imam-imam membutuhkan jari-jari yang lengkap. Kabar ini membuatnya kecewa tetapi ia tetap aktif dalam kegiatan gereja, menggunakan talentanya sebagai seorang gitaris dan pengarang lagu untuk misa dan gereja yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan. Permintaan kepadanya semakin meningkat ketika ia bergabung memimpin dan bernyanyi dalam kelompok musik untuk lima kali misa pada suatu hari Minggu. Ia menarik perhatian publik termasuk seseorang yang mengorganisasi aktifitas untuk kunjungan fenomental Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1987.

“Seseorang menarik namaku dan mengundangku untuk suatu pertemuan,” Tony mengenangnya,” Saya tidak ingat pasti kapan itu terjadi” Tony dipanggil dalam audisi dan diterima,”saya sangat senang sekali mendengar kabar tersebut.”

Kegembiraan ini berubah menjadi kecemasan dan menjadi kegembiraan ketika Paus menanggapi permainan Tony dengan sebuah ciuman. Dia memberi catatan bahwa ia tidak tahu pasti bagaimana reaksinya saat itu,” Dia meminta saya untuk tidak bergerak atau sekurity akan memanduku, aku terkejut ketika paus melompat empat kaki untuk menyalamiku.”. Sejak itulah, Tony Melendez melanglang buana ke 27 negara dan tampil di berbagai acara televisi. Ia juga memberi penampilan tambahan kepada Paus selama 4 kali yaitu 2 kali di Vatikan, sekali di Polandia dan 1993 di Denver Colorado dalam acara World Youth Day.

Hari ini, Tony dikenal di seluruh dunia karena kepiwaiannya bermain gitar menggunakan jari-jari kakinya. Pada tahun 1985, Tony mulai bermain dan bernyanyi di daerah Los Angeles. Hanya dua tahun kemudian (1987), hidupnya berubah total ketika ia tampil untuk Paus dan dihadapan 6000 pendengar secara langsung dan jutaan penonton televisi. Tony kemudian mendadak menjadi perhatian publik.

Tetapi sebelum Tony menjadi terkenal karena kepiwaiannya dalam memetik gitar dengan jari-jari kakinya, ia mengalami kesulitan untuk diatasinya khususnya tahun-tahun yang dilalui di sekolah tinggi.

Tony pernah berkata,” Gadis-gadis akan memperhatikanku sebagai proyek simpatinya, setelah itu mereka tidak menampakkan batang hidungnya lagi. Aku tidak mencelanya. Jujur siapa yang mau menjadi pacar yang tidak mempunyai tangan? Sungguh tidak mudah melewati masa remajaku

Saya pergi ke suatu acara dansa tanpa janjian. Sebagaimana kupikirkan sebelumnya, aku hanya menyandarkan tubuhku sendirian di dinding aula. Saya ingat sekali rasanya tidak enak sekali, apakah aku akan mengajak seseorang untuk berdansa atau sambil berharap cemas munculnya seseorang yang mengajakku berdansa.

Tiba-tiba, seorang gadis dari kelas Inggrisku, berjalan ke arahku, memandangku dengan tidak sabar dan berkata,”Mari”. Jelaslah dia mengajakku untuk berdansa dengannya. Memang pendekatannya kurang romantis, tetapi beberapa detik kemudian kami penuh gairah di lantai dansa.

Aku tak pernah berpikir bahwa gadis itu akan tahu bagaimana pentingnya dia bagiku malam itu. Dalam waktu-waktu tertentu dalam hidupku, orang seperti gadis itu datang menyapa atau mengerjakan sesuatu secara tepat dimana aku sedang membutuhkan. Orang-orang yang peka seperti itulah adalah orang-orang pemberi harapan. Mereka sangat jarang, karena mereka dapat melupakan masalahnya sendiri cukup lama untuk membantu sesama yang membutuhkan.”

Anda sekalian juga dapat menjadi pemberi harapan! Anda bisa mulai sekarang dengan membuka tangan dan membantu mereka yang membutuhkan. You can make difference.

doa

Doa St. Rafael

St.Rafael Malaikat Agung, pelindung perjalanan, dampingilah kami dalam peziarahan di dunia ini. Tuntunlah dan bimbinglah kami agar selalu berada di jalan keselamatan. Dengan kuasa Allah, lindungilah dan bebaskanlah kami dari cobaan dan jerat iblis. Karena engkau adalah Penyembuh Allah, dengan rendah hati kami mohon, sembuhkanlah kami dari segala penyakit tubuh dan jiwa yang kami derita. Semoga bersama engkau dan para malaikat kudus, kami dapat memuji dan memuliakan Allah untuk selama-lamanya. (Amin)

Finding God in All Things

Menemukan Tuhan dalam Segala:
kontemplasi Kristiani dan Latihan Rohani
Josef Sudbrack

Catatan awal:
· Tulisan Josef Sudbrack dalam jurnal The Way yang berjudul:”Finding God in All Things: Christian Contemplation and the Ignatian Exercise” merupakan tanggapan atas tulisan Franz Jalics.
· Gagasan Franz Jalics kalau mau dirangkum berbicara soal kontemplasi yang sesungguhnya. Kontemplasi murni ( pure contemplation ) istilahnya.
· Kontemplasi yang dimaksud adalah ‘memandang’ bagaimana Tuhan hadir dalam kenyataan hidup retretan dan dunia. Fase ini secara krusial diawali pada minggu ke-4 ketika para retretan diajak berdoa Kontemplasi untuk Mendapatkan Cinta. Pada fase ini segala kemampuan mental manusia dilepaskan seperti dalam doa “ Take Lord and Receive…”
· Josef Sudbrack melihat paparan Franz Jalics sebagai upaya menghubungkan pedagogi Ignasian dengan habitus praktek kontemplasi.

Beberapa pokok gagasan
1.} Kontemplasi
· Pokok permasalahan adalah bagaimana hubungan antara Tuhan dan manusia terjalin.
· Kontemplasi dalam LR ‘ memandang ‘ secara intuitif pada satu gambaran. Dalam LR, titik transisinya ada pada akhir minggu IV. Beberapa pokok dalam minggu ke-IV tidak bisa dianggap sebagai tambahan ( CAL, tiga cara berdoa ). Kontemplasi dalam LR membantu retretan untuk mengetahui Tuhan lewat pengalaman. Ada interpenetrasi antara tindakan Tuhan dan tindakan manusia dalam setiap pengalaman. Kontemplasi dalam LR bertujuan untuk menemukan Tuhan dalam segala termasuk dalam setiap kemampuan ( faculty ) manusia. Keterlibatan retretan dibutuhkan. Doa ‘Take Lord and Receive’ tidak mengajak retretan berdiam diri dengan menyerahkan segala kemampuan tapi secara aktif mensettingnya bagi karya Tuhan.
· Kaitan beberapa tradisi:
1.} Tradisi Kristiani
· Beberapa cara berdoa Ignatius dipengaruhi oleh doa-doa dalam tradisi kristiani seperti Doa Yesus dalam gereja Timur. Dalam doa itu, figur Yesus menjadi pusat doa.
· Bentuk kontemplasi dalam tradisi Kristen dikembangkan beberapa tokoh: 1.] Jan van Ruusbroec ( 1293-1381 ). Dia menekankan pentingnya seseorang sampai pada kesejatian diri dalam Tuhan. Gagasan ini dekat dengan istilah Ignatian bahwa cinta lebih ditandai oleh tindakan. 2.] Thomas Merton ( 1915-1968 ) yang juga menekankan ‘inner self’- diri sejati. Ia memamparkan paradoks kesatuan dengan Tuhan dan kesatuan dengan diri sendiri. Disini muncul kesadaran kesatuan dan keterpisahan yang menjadi landasan ‘ menemukan Tuhan dalam segala ‘ 3.] Para Rahib yang menafsirkan ajaran biblis untuk selalu berdoa. Point penting tradisi ini adalah merengkuh Tuhan dalam hidup harian tanpa selalu terarah langsung pada Nya.
2.} Tradisi non-Kristiani
· Gagasan kontemplasi juga muncul dalam tradisi agama lain: Vipassana ( Zen Budisme ). Pusat aktivitasnya adalah pengosongan kesadaran. Ini dalam ditumpuh dengan cara manipulasi. Maka, penting untuk mengkaitkannya dengan dasar religius seseorang. Cara yang benar akan membantu seseorang untuk mengenal Tuhan secara lebih dalam.

2.} Menemukan Tuhan dalam segala
· Perlu pembedaan kontemplasi dan hidup kontemplatif.
· Pokok perhatian apakah LR tertuju pada gagasan Ignatius mengenai “ menemukan Tuhan dalam segala”.
· Gagasan mendasar: Tuhan tidak semata tujuan yang jauh; Tuhan hadir persis dalam proses pembuatan keputusan. Sebaliknya, kontemplasi tidak membuat segalanya selain Tuhan hilang atau objek menjadi lenyap.
· Apa yang dipertaruhkan disini adalah bagaimana Tuhan dapat diketahui tanpa pikiran kita secara terang-terangan terarah pada Nya.
· Kontemplasi memainkan peran pentingnya atau memberi bobot penting pada seluruh proses. Kontemplasi tidak semata sebagai sebuah metode berdoa dan meditasi. Metode doa Ignatius menghadirkan Kristus yang hidup dalam sejarah. Bagi Ignatius, figur Yesus historis, ilahi dan manusiawi, cukup kuat untuk membawa perubahan bagi seseorang yang memeditasikannya saat ini dan disini. Itu akan membawa mereka pada pengalaman ‘ Spirit of Jesus ’ ( semangat Yesus ). Setiap orang yang melalui tahapan ini, dan membuat pilihan bagi Yesus, telah dibentuk oleh dialog dengan Tuhan, dan inilah ‘kenyataan kontemplasi yang hidup’. Ini adalah pesan empat point dalam Kontemplasi mendapat Cinta. ( CAL ).

Finding God in All Things

Menemukan Tuhan dalam Segala:
kontemplasi Kristiani dan Latihan Rohani
Josef Sudbrack

Catatan awal:
· Tulisan Josef Sudbrack dalam jurnal The Way yang berjudul:”Finding God in All Things: Christian Contemplation and the Ignatian Exercise” merupakan tanggapan atas tulisan Franz Jalics.
· Gagasan Franz Jalics kalau mau dirangkum berbicara soal kontemplasi yang sesungguhnya. Kontemplasi murni ( pure contemplation ) istilahnya.
· Kontemplasi yang dimaksud adalah ‘memandang’ bagaimana Tuhan hadir dalam kenyataan hidup retretan dan dunia. Fase ini secara krusial diawali pada minggu ke-4 ketika para retretan diajak berdoa Kontemplasi untuk Mendapatkan Cinta. Pada fase ini segala kemampuan mental manusia dilepaskan seperti dalam doa “ Take Lord and Receive…”
· Josef Sudbrack melihat paparan Franz Jalics sebagai upaya menghubungkan pedagogi Ignasian dengan habitus praktek kontemplasi.

Beberapa pokok gagasan
1.} Kontemplasi
· Pokok permasalahan adalah bagaimana hubungan antara Tuhan dan manusia terjalin.
· Kontemplasi dalam LR ‘ memandang ‘ secara intuitif pada satu gambaran. Dalam LR, titik transisinya ada pada akhir minggu IV. Beberapa pokok dalam minggu ke-IV tidak bisa dianggap sebagai tambahan ( CAL, tiga cara berdoa ). Kontemplasi dalam LR membantu retretan untuk mengetahui Tuhan lewat pengalaman. Ada interpenetrasi antara tindakan Tuhan dan tindakan manusia dalam setiap pengalaman. Kontemplasi dalam LR bertujuan untuk menemukan Tuhan dalam segala termasuk dalam setiap kemampuan ( faculty ) manusia. Keterlibatan retretan dibutuhkan. Doa ‘Take Lord and Receive’ tidak mengajak retretan berdiam diri dengan menyerahkan segala kemampuan tapi secara aktif mensettingnya bagi karya Tuhan.
· Kaitan beberapa tradisi:
1.} Tradisi Kristiani
· Beberapa cara berdoa Ignatius dipengaruhi oleh doa-doa dalam tradisi kristiani seperti Doa Yesus dalam gereja Timur. Dalam doa itu, figur Yesus menjadi pusat doa.
· Bentuk kontemplasi dalam tradisi Kristen dikembangkan beberapa tokoh: 1.] Jan van Ruusbroec ( 1293-1381 ). Dia menekankan pentingnya seseorang sampai pada kesejatian diri dalam Tuhan. Gagasan ini dekat dengan istilah Ignatian bahwa cinta lebih ditandai oleh tindakan. 2.] Thomas Merton ( 1915-1968 ) yang juga menekankan ‘inner self’- diri sejati. Ia memamparkan paradoks kesatuan dengan Tuhan dan kesatuan dengan diri sendiri. Disini muncul kesadaran kesatuan dan keterpisahan yang menjadi landasan ‘ menemukan Tuhan dalam segala ‘ 3.] Para Rahib yang menafsirkan ajaran biblis untuk selalu berdoa. Point penting tradisi ini adalah merengkuh Tuhan dalam hidup harian tanpa selalu terarah langsung pada Nya.
2.} Tradisi non-Kristiani
· Gagasan kontemplasi juga muncul dalam tradisi agama lain: Vipassana ( Zen Budisme ). Pusat aktivitasnya adalah pengosongan kesadaran. Ini dalam ditumpuh dengan cara manipulasi. Maka, penting untuk mengkaitkannya dengan dasar religius seseorang. Cara yang benar akan membantu seseorang untuk mengenal Tuhan secara lebih dalam.

2.} Menemukan Tuhan dalam segala
· Perlu pembedaan kontemplasi dan hidup kontemplatif.
· Pokok perhatian apakah LR tertuju pada gagasan Ignatius mengenai “ menemukan Tuhan dalam segala”.
· Gagasan mendasar: Tuhan tidak semata tujuan yang jauh; Tuhan hadir persis dalam proses pembuatan keputusan. Sebaliknya, kontemplasi tidak membuat segalanya selain Tuhan hilang atau objek menjadi lenyap.
· Apa yang dipertaruhkan disini adalah bagaimana Tuhan dapat diketahui tanpa pikiran kita secara terang-terangan terarah pada Nya.
· Kontemplasi memainkan peran pentingnya atau memberi bobot penting pada seluruh proses. Kontemplasi tidak semata sebagai sebuah metode berdoa dan meditasi. Metode doa Ignatius menghadirkan Kristus yang hidup dalam sejarah. Bagi Ignatius, figur Yesus historis, ilahi dan manusiawi, cukup kuat untuk membawa perubahan bagi seseorang yang memeditasikannya saat ini dan disini. Itu akan membawa mereka pada pengalaman ‘ Spirit of Jesus ’ ( semangat Yesus ). Setiap orang yang melalui tahapan ini, dan membuat pilihan bagi Yesus, telah dibentuk oleh dialog dengan Tuhan, dan inilah ‘kenyataan kontemplasi yang hidup’. Ini adalah pesan empat point dalam Kontemplasi mendapat Cinta. ( CAL ).

cloning dan teologi tubuh

CLONING MANUSIA & TEOLOGI TUBUH

Terjemahan bebas dari artikel “ Human Cloning and Theology of the Body” dari Majalah Theology Digest Vol.51, No.3 Fall 2004

Tekanan semakin meningkat untuk memberi lampu hijau pada cloning manusia setidaknya untuk riset biomedis baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Para politisi liberal (baik dari Republikan maupun Demokrat) telah menggabungkan kekuatan dengan perusahaan bioteknologi, figur Hollywood dan media Amerika untuk mencirikan para musuh sebagai para religius konservatif yang berpikiran sempit, sebagai anti ilmu pengetahuan, dan secara ideologi dimotivasi oleh politik ‘pro life’ yang lepas tangan atas penderitaan manusia yang mendalam. Meskipun demikian, pertanyaan yang perlu untuk ditanyakan:” Haruskah kita sekarang dan seterusnya bisa menjalankan riset semacam ini?” Dalam esai ini saya berpendapat “tidak”.

Fisiologi Cloning
Pada saat ini, tipe paling umum dari cloning manusia disebut ‘somatic cell nuclear transfer’ (transfer inti sel somatis). Ini berawal dengan sebuah gamete (sebuah oocyte atau telur ) wanita yang dipanen dari sebuah donor. Dalam nukleus oocyte tersebut terdapat setengah dari material genetis (DNA) yang diperlukan bagi perkembangan manusia. Dalam reproduksi seksual setengahnya lagi disumbang saat pembuahan (fertilization) oleh pria (sel sperma) yang terdiri dari setengah dari materi genetis yang diperlukan untuk pembuahan (conception) alamiah dan pertumbuhan sebuah embrio. Namun, Cloning adalah reproduksi aseksual; tidak diperlukan sperma. Nukleus dari oocyte dipindahkan, dan nukleus dari sebuah sel somatis (sel apa saja yang lain dari sel oocyte atau sperma) ditransfer pada enucleated oocyte. Adalah penting untuk memahami bahwa sel somatis dapat datang dari donor apapun dan sebenarnya terdiri dari sebuah komplemen genetis lengkap dari donor. Dengan demikian, material yang ditransfer pada oocyte tidak terkait dengan perempuan yang mendonasikan oocyte. Sebaliknya, komposisi genetis adalah identik dengan yang mendonorkan sel somatis (yang bisa seorang lelaki, perempuan, atau teoritis bahkan non human).
Pada cloning manusia, seandainya sel somatis yang ditransfer berhasil, entitas yang dihasilkan tidak lagi sebuah oocyte tetapi sebuah zygote manusia, sebuah fetus dalam tahapannya yang paling awal. Dengan stimulus dari impulse eletrik atau dengan racikan kimiawi khusus, zygote tersebut akan secara aktif membelah dan didorong pada proses dinamis menuju kematangan dan perkembangan manusiawi.

Beberapa tujuan cloning manusia
Tujuan dari cloning akan menjadi subjek dari kehendak para kloner. Cloning reproduksi manusia (Human reproductive cloning), sebagaimana paling populer disebut, membutuhkan penanaman embrio hidup pada uterus perempuan dan akan menghasilkan seorang anak pada saatnya.
Yang selama ini disebut cloning terapetis (therapeutic cloning) akan melibatkan pembiakan embrio in vitro (dalam laboratorium), kemudian menggunakannya dengan apa yang disebut sebagai tujuan therapeutic yang diinginkan kloner. Sampai saat ini, interes utama ‘therapeutic’ (penyembuhan) adalah untuk memanen stem sel embrionik yang matang, sebuah proses yang akan membunuh embrio. Jenis dari cloning ini menarik sebab embrio yang dikloning akan memiliki kode genetis atau ‘genotype nuclear’ yang identik dengan pendonor sel somatis, yang kemungkinan adalah pasien klinis yang membutuhkan, sebagai contoh, sebuah organ yang ditransplasikan. Sel-sel cabang dan jaringan otot didapat dan disitulah akan didapat derajat kesesuaian yang amat tinggi yang memungkinkan pengapkiran jaringan otot.
Mengenai istilah ‘therapeutic’ (penyembuhan), istilah itu menyatakan tak langsung bahwa prosedur atau tata cara dalam bertanya (procedure in question) akan sangat membantu subjek dari prosedur tersebut. Tapi, dalam cloning therapeutis, tak ada keuntungan yang diharapkan oleh subjek; faktanya prosedur itu bisa mematikan bagi subjeknya. Oleh karena itu, adalah penting untuk memakai bahasa yang tidak berisi bias-bias untuk kepentingan (in favor) sebuah kesimpulan etis yang tak sembrono (unscrutinized). Untuk mendapat kejelasan, saya akan memakai terminologi yang digunakan oleh Konsili President mengenai Bioetika dalam laporannya tahun 2002 mengenai cloning manusia, yang membedakan antara cloning untuk menghasilkan anak dan cloning untuk riset biomedis.

Cloning untuk memproduksi anak
Proses cloning untuk menghasilkan anak pertama-tama dan terutama adalah soal control (a matter of control). Banyak motif pokok yang mendasari hasrat untuk cloning yang menghasilkan anak: menduplikat individu dengan pengecualian untuk beberapa tabiat atau watak; mereproduksi gambaran seorang yang terkasih yang sudah mati; memproduksi pribadi yang kebal dari penyakit genetis; memilih seorang dengan alasan kosmetis seperti penampilan sex atau fisik….atau mengembangkan fetus yang digunakan sebagai sumber onderdil pengganti tubuh (spare body parts). Motif-motif yang lebih sinistis- dimana kita tak punya alasan untuk mengaitkannya dengan pembela kloning saat ini tapi yang akan mendatangkan sejarah sedih kejahatan manusia, harus tidak boleh dilepaskan dari kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan kita- termasuk didalamnya memproduksi manusia untuk eksploitasi seksual dan ekonomis, untuk maksud-maksud militer, atau dalam interes berbagai macam bentuk perbudakan total.
Segala motif dari cloning manusia pada umumnya memuat kehendak satu generasi untuk mencoba mengontrol generasi yang lain. Sementara ini mungkin juga biasanya disebut perencanaan keluarga (family planing), perbedaan yang paling jelas dan takterelakan adalah satu tingkat. Memutuskan seberapa banyak anak yang hendak dipunyai, dan kapan, dan dalam lingkungan macam apa, tidaklah menyentuh kodrat mendasar dari seorang anak. Tapi dalam cloning, identitas biologis yang dimiliki yang dikloning dikontrol. Identitas tersebut ditentukan oleh manusia yang lain, tidak diterima sebagai pemberian atau rahmat dari Tuhan sebagai keunikan yang tak terukur sebagai percampuran kualitas genetis dari kedua orang tua. Dan hal itu ditentukan bukan untuk kebaikan dari yang dikloning melainkan untuk menyokong interes dari pelaku kloning (kloner)- sebuah percobaan yang mengejutkan dari kehendak mendominasi seorang terhadap yang lain.
Supaya jelas, kontrol tersebut hanya mengenai identitas genetis, tidak terhadap keseluruhan kemanusian dari seorang pribadi, yang merupakan kesatuan sebuah tubuh material dan sebuah jiwa yang immaterial. Tapi, identitas biologis adalah sangat esensial (mendasar) bagi identitas manusia. Kendati kecil tapi identitas biologis lebih mendasar, lebih personal, dan lebih ‘self-defining’ sebagai penentu diri dibanding identitas ketubuhan (bodily identity) seseorang. Dan proses alamiah prokreasi manusia memiliki identitas biologis yang unik dan tak bisa diulang (unique and unreapeatable). Dalam kasus kembar (monozygote) identik, identitas genetis itu diterima oleh dua subjek biologis yang saling membagikan karakteristik masing-masing, tapi juga oleh mereka yang masih menerima identitasnya sebagai anugrah atau pemberian dari Tuhan. Sebab kekinian mereka yang relatif atas asal muasal mereka, orang yang kembar masih bebas untuk mencipta sejarah mereka masing-masing, meskipun begitu semakin dekat kemiripannya satu sama lain dibanding saudara yang tidak kembar (non-twinned siblings).
Pelaku kloning atau kloner, kontrasnya, menentukan identitas dari seseorang yang telah ada atau eksis, seseorang yang telah memiliki sebuah sejarah. Ini adalah pelanggaran sebagai apa yang menurut kacamata saya sebagai hak alamiah-kodrati (natural right) dari pribadi manusia, yakni, hak akan identitas yang subjektif. Kloning adalah bentuk radikal dari kekerasan tak adil terhadap subjektivitas pribadi dari yang dikloning. Ini juga pelanggaran atas prinsip mendasar dari kesataraan manusia sebab yang dikloning (the clone) dalam asal muasalnya ‘in her origins’ terpaku pada relasi dengan pelaku kloning (the cloner) yang tidak berlandaskan kondisi yang kurang lebih setara (equal) melainkan dalam relasi yang dihasilkan oleh pembuatnya. Identitas biologis yang kita terima lewat proses yang kelihatannya kebetulan dalam pembuahan adalah sebuah identitas yang alurnya terbentang melampaui horizon temporal. Doktrin Kristen tentang kebangkitan badan menerangi realitas bahwa tubuh yang kita miliki saat ini akan secara langsung terkait dengan identitas ketubuhan yang kita miliki dalam keabadian.
Kloning juga akan membuat generasi aseksual manusia. Seorang lelaki dan seorang perempuan tidak lagi dibutuhkan untuk menghadirkan kehidupan baru; perempuan dibutuhkan sebagai donor telur, dan lelaki tidak sama sekali. Pertanyaan mengenai keibuan menjadi tidak keruan: apakah yang menjadi ibu adalah pendonor telur, atau pendonor sel somatis, atau perempuan yang mengandungnya? Dan gambaran paternitas biologis tidak lagi relevan. Kloning menyimpang dari struktur relasional yang mendasar dari pribadi manusia. Yang dikloning (the clone) mungkin gambaran nyata dari ibunya, anak perempuan dari neneknya, atau kembaran dari seorang bayi yang diaborsi. ‘In vitro’ telah mendatangkan kebingungan bagi ikatan hubungan kekeluargaan, tetapi kloning malah membuatnya semakin tanpa arti.
Lebih lanjut, kloning mengacaukan dimensi perkawinan (conjugal) dari prokreasi manusia dalam logika cinta manusia dan pemberian diri menuju proyek impersonal riset biologis di dalam logika produksi-industri. ( Hendaklah jangan memperbodoh diri kita; cloning akan menjadi sebuah industri dengan implikasi ekonomis yang luar biasa. ) Apakah disana ada realitas alamiah yang lebih intim, sublim, dan bersifat konsekuensional- yang sungguh lebih manusiawi-dibanding mekarnya cinta perkawinan menuju merekahnya kehidupan baru? Di dalam cloning, ikatan antara cinta perkawinan dan prokreasi diceraiberaikan. Ini tidak untuk mengatakan bahwa pelaku kloning (the cloner) tidak akan secara pribadi berminat, atau memiliki komitmen untuk itu, atau secara emosional mencurahkan diri pada produk dari prosedur. Tetapi, intensitas sentimen diseputar proses seharusnya tidak menggelapkan kenyataan ini yakni: proses tersebut bukanlah memperanakkan (begetting), melainkan rancang bangun (manufacturing).
Kedatangan reproduksi manusia yang aseksual menghantam jantung antropologi Kristiani dengan membuat sifat komplementer dari masing-masing jenis kelamin menjadi tak relevan (irelevan). Wahyu Kristiani mengajarkan bahwa Tuhan meciptakan kemanusiaan “laki-laki dan perempuan”, dan bukan laki-laki sendiri atau perempuan sendiri. Laki-laki dan perempuan menghadirkan, dalam integritas pribadinya, dua tipe yang berbeda, dua wujud (embodiments) yang unik dan komplementer dari makhluk rohani yang kita sebut pribadi manusia, masing-masing memiliki sinyifikansinya sendiri bagi diri sendiri dan orang lain seturut rencana ilahi. Dengan kata lain, itu adalah bagian dari rencana Tuhan bahwa terdapat dua jenis kelamin; Tuhan menghendaki dua macam jenis kelamin. Kita Kejadian I, melalui narasi penciptaan memberikan dasar bagi pembedaan ini: Tuhan memerintahkan untuk “berkembang dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan kuasailah” ini mengatakan pada kita bahwa pembedaan seksual (sexual differentiation) dan seksual yang melengkapi-komplementer (sexual complementary) terkait dengan prokreasi. Dengan demikian, iman Kristiani mendukung apa yang digariskan oleh hukum alam, yakni, hubungan seksual perkawinan (marital sexual intercourse) adalah konteks yang paling tepat untuk menghadirkan kehidupan baru.

Cloning untuk riset biomedis
Banyak, jika tidak sebagian besar, mereka yang membela cloning manusia mempertahankannya bukan untuk maksud menghasilkan anak tetapi untuk riset biomedis. Cloning bagi riset dapat diabsahkan, mereka bertahan, sebab kegunaannya dalam penyembuhan penyakit dan membebaskan penderitaan manusia. Sayangnya, kata mereka, bahwa embrio manusia akan dihancurkan dalam proses tersebut, tetapi konsekuensi yang tidak menguntungkan ini diabsahkan dengan hasil-hasil yang menjanjikan.
Pertanyaan etis yang menentukan adalah, apakah yang menjadi kodrat dan identitas dari embrio yang dikloning? Apakah itu sebuah kehidupan manusia dan oleh karenanya sebuah makhluk manusiawi yang utuh? Ataukah itu sebatas pra atau potensi hidup manusia, sesuatu yang akan menjadi tetapi belum sebagai anggota dari keluarga manusia ( sebuah gambaran yang oleh para pembela eksperimen penghancuran embrio secara rutin dinyatakan )? Seandainya itu hanyalah pra manusia, kemudian eksperimen mematikan atasnya, karena ada alasan yang mendukung, mungkin diabsahkan, karena subjeknya bukanlah sesosok manusia yang hidup. Tetapi seandainya embrio manusia adalah manusia yang hidup, kemudian cloning sederhananya untuk maksud riset berubah menjadi penciptaan yang disengaja dan akan menyertai terjadinya pergesaran dimana hidup manusia hanya melulu untuk keuntungan yang lain. Bagaimana kita menguraikan masalah ini? Kita mulai dengan fakta empiris.
Sebelum memindahkan sel somatis dari nukleus kedalam telur takbernukleus (the enucleated egg); jaringan otot manusia yang dikumpulkan untuk manipulasi jelas bukan individu-individu manusia utuh yang terorganisir secara internal (dari dalam). Tetapi, setelah pemindahan dan stimulasi (rangsangan) pertumbuhan embrionik berhasil, kita berhadapan dengan suatu anggota hidup dari spesies homo sapiens yang terorganisir, meskipun belum matang.
Marilah kita menelaah pernyataan ini. Individu adalah utuh dan mengatur diri (self-organizing), sejauh ini sebagaimana individu dalam dirinya terdapat ‘epigenetic primodia’ (kode genetik yang lengkap dan dinamisme yang yang hidup) perkembangan didalamnya yang terorganisir menuju sebuah anggota spesies yang matang. Ya, individu itu membutuhkan ‘nurture’ (pemeliharaan) dari luar dirinya, tetapi demikian halnya kelahiran baru (newborn), yang lemah (infirm) dan yang matang. Sangatlah bisa diterima bawasannya setiap orang, dalam setiap tahapan pertumbuhannya, membutuhkan ‘nurture’ (pemeliharaan) dari luar demi sehatnya pertumbuhan dan perawatan manusia. Embrio yang dikloning adalah hidup (sebagai lawan dari mati-atau terus terang-belum hidup) sejauh ia menuju eksistensi sebagai sebuah entitas dengan kenyataan yang terus berkembang, dengan sebuah sejarah, yang mengikutsertakan pertumbuhan yang alamiah, teroganisir, bergerak sendiri (self-moving) menuju kematangan yang penuh.
Apa yang bisa kita buat dengan menyebut embrio hanyalah kehidupan pra manusia dan dengan begitu bisa menyakal haknya yang penuh sebagai manusia? Sebagian menanggapai bahwa sampai 14 hari- awal dari perkembangan garis primitif- monozygot yang kembar (entah tiga, empat, dst.) tidak lagi bisa muncul; oleh karena itu, katanya sebelum tanggal tersebut embrio belumlah sebuah kesatuan manusia yang utuh, karena makhluk hidup yang identik dengan keadaannya mendatang beserta sebuah personalitas yang berkembang belum lagi muncul. Jelaslah bahwa ini membuktikan bahwa sebelum hari ke 14 kita tidak berhadapan dengan keutuhan dua atau lebih, manusia yang teroganisir. Namun, hal itu tidak serta merta menandaskan bahwa sebelum hari ke 14 kita tidak berbicara mengenai nasib dari seluruh idividu manusia.
Dan kita punya alasan yang baik untuk menyimpulkan bahwa kita hanya berhubungan dengan sebuah hidup manusia yang penuh. Tidak ada momen (saat) yang terpilah dan khusus atau bahkan serangkaian peristiwa setelah organisme kecil menjadi nyata atau eksis, yang dapat digagas sebagai awal mula sebuah kehidupan yang baru. Jika kita mengatakan bahwa organisme berkembang menuju kemanusiaan setelah beberapa waktu organisme itu menjadi eksis atau berada, lalu apa halnya sebelum titik tersebut? Itu bukanlah bagian dari tubuh yang lain, karena itu adalah sebuah oocyte atau sel somatis. Itu bukan pula asal-usul yang sedang menunggu untuk menjadi anggota hidup dari spesies, karena sedang dalam tahapan zygote. Organisme itu sedang tidak menunggu beberapa kontribusi essensial/mendasar bagi perkembangannya dari luar dirinya, karena sejak mulanya organisme itu terdiri dari ‘epigenetic primodia’ bagi perkembang diri menuju kedewasaan. Keduanya baik sebelum dan setelah hari ke-14, cara dan arah bagi kematangannya ditentukan oleh materi genetik yang ada didalamnya, dan bukan oleh penyebaban ekstrinsik (luaran). Lalu, oleh karena itu, apa yang menjadi penyebab kemunculannya menuju humanitas (kemanusiaan)?
Lebih lanjut, bukti embriologis menunjukkan bahwa sel-sel embrionik sebelum hari 14 tidak berfungsi sebagai kumpulan sel yang takberhubungan (unrelated) dan tak saling berhubungan (non communicating) tapi terlebih sebagai sebuah organisme tunggal. Mereka berinteraksi, berkomunikasi, dan dengan demikian dikekang (dikendalikan) dari perkembangan yang otonom. Memang betul bahwa kadangkala suatu sel yang menyatupadu (totipotent) terbelah, yang memunculkan perkembangan suatu organisme baru, dan, benar peristiwa ini biasanya terjadi sebelum hari ke-14. Tetapi fakta munculnya organisme kembar yang mungkin terjadi sebelum hari ke-14 tidak menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa sebelum hari ke-14 embrio adalah kumpulan acak sel-sel yang menanti beberapa peristiwa terorganisir atau prinsip untuk membawanya menuju fungsi sesosok manusia yang utuh.
Beberapa mungkin belum teryakinkan. Bukti empiris, yang mungkin mereka permasalahkan, belum menempatkan pertanyaan seputar ketidaksahan (illegitimacy/kelancungan) etis dari eksperimen mematikan (lethal experiment) atas embrio awal manusia. Sebuah pemikiran eksperimen akan membantu kita memahami pertanyaan etis dari sudut pandang lain yang menguntungkan. Seandainya kamu adalah pilot militer dalam masa damai, kamu memerintahkan untuk mengetes bom-bom pembumi hangus pada target yang telah ditentukan, dan radarmu mengindikasikan adanya makhluk hidup yang tak teridentifikasi, banyak dan sedemikian banyak mahkluk itu, yang mengarah pada daerah kosong/nihil (ground zero); seandainya kamu berada dalam ketidakpastian, tetapi memiliki alasan yang baik untuk dipercayai, bahwa kemungkinan mereka adalah para penduduk yang tidak berdosa, akankah kamu secara etis mengabsahkan penjatuhan bom-bom pada daerah kosong berdasarkan alasan bahwa status dari objek yang terdapat dalam layar radar adalah tidak pasti?
Bukti empiris, jika tidak membuktikan dengan meyakinkan bahwa embrio awal manusia adalah mahkluk hidup yang layak bagi respek moral yang penuh, menyodorkan alasan-alasan yang baik untuk banyak penyimpulan. Pada akhirnya, bukti tersebut meninggalkan dalam benak kita keraguan yang serius. Dalam ketiadaan bukti yang konklusif untuk melawannya, bukankah para ilmuwan, pelaku klinik, instansi resmi atau siapapun dalam masalah itu, dituntut secara moral untuk memperlakukan embrio manusia sebagai mahkluk hidup yang utuh dengan hak penuh sebagai manusia dan menahan diri dari segala tindakan yang akan mendatangkan kesalahan fatal, seandainya dengan jelas diketahui embrio itu akan manjadi mahkluk yang hidup? Itu adalah dasar dari ajaran CDF yang mengatakah bahwa “ manusia perlu dihargai -sebagai pribadi- sedari awal keberadaannya” (Donum Vitae I, 1). Dan dalam Charter of the Rights of the Family, Bapa Suci menyatakan bahwa;” Hidup manusia secara mutlak perlu dihargai dan dilindungi sejak dari saat pembuahan (moment of conception).”

Pertanyaan tentang Kegunaan
Tetapi bagaimana dengan kebaikan besar yang dapat dihasilkan dari cloning untuk riset biologis? Bukankah tujuan tersebut secara sinyifikan memajukan sains dan pengetahuan klinis; bukankah prospek untuk melepaskan penderitaan dan kesusahan berat manusia mengesahkan percobaan yang menghancurkan mahkluk hidup yang belum berkembang? Ini menggoda untuk menjawab ya. Dan godaan itu meningkat ketika menahan diri untuk berbuat jahat memberi harapan pada keberlanjutan atau peningkatan prospek dari derita kemalangan (suffering evil).
Pertanyaan tersebut tidaklah baru. Itu adalah pertanyaan kuno dari legitimasi moralitas utilitarian, sebuah isu terkenal yang dihadapi Socrates ketika dia bertanya, Mana yang lebih baik berprilaku jahat atau menderita malang? (Is it better to do evil or to suffer evil?) Socrates, Plato, Aristoteles, dan seluruh tradisi Kristiani mulai St. Paulus hingga St. Agustinus serta Thomas Aquinas hingga Johanes Paulus II menjawab dengan satu suara yang tak terpatahkan: berprilaku jahat adalah menjadi jahat. (to do evil is to become evil.). Lebih lanjut, sebenarnya setiap agama besar di dunia dan filsafat moral yang berpengaruh merumuskan sebuah tuntutan moral yang umum, suatu norma moral universal yang relevan dengan masalah cloning; dan norma itu lebih kuno dibanding premis utilitarian. Kita menemukan tidak hanya dalam keKristenan tetapi juga Yudaisme, Islam, Budhisme, Hinduisme, Taoisme, Confusianisme, Sikhisme, Jainisme, Zoroastrianisme, Unitarianisme, dan kerohanian asli. Kristianitas mengatakannya Aturan Emas (Golden Rule): kita harus bertindak terhadap orang lain sebagaimana kita berharap orang lain bertindak atas diri kita. Itu menuntut kita untuk menempatkan diri kita, di dalam imajinasi kita, dalam posisi mereka yang dengannya kita tidak kenal secara biasa dan alamiah, seperti embrio kecil manusia, dan kita bertanya pada diri kita, seandainya aku berada dalam posisinya, perlakuan apa yang kita harapkan atas diri kita? Apakah masing-masing dari kita akan berharap dihasilkan dari sebuah laboratorium, dijadikan bahan ujicoba, dan kemudian dibunuh?
Jika alasan-alasan saya benar dan embrio manusia adalah makhluk yang utuh dan hidup, maka menghasilkannya secara aseksual, dan beruji coba atasnya untuk sebuah alasan yang tak terkait dengan kesejahteraannya, dan kemudian menghancurkannya menyangkut ketidakadilan yang berat: 1.} sebuah pelanggaran hak bagi identitasnya yang subjektif, 2.} sebuah pelanggaran atas haknya untuk hadir di dunia dalam konteks sebuah cinta perkawinan, 3.} sebuah pelanggaran atas haknya untuk tidak dieksploatasi secara berbahaya bagi tujuan-tujuan lain dan tanpa izin darinya, dan 4.} sebuah pelanggaran atas haknya untuk tidak dibunuh.


Key words:
cloning, the clone, the cloner, somatic, utilitarian ethic, epigenetic primodia, oocyte, zygote, therapheutic, sexual complementary, sexual differentiation, moment of conception, marital sexual intercourse, lethal experiment, Human reproductive cloning, therapeutic cloning, embryo, human being

original sin

Makalah sederhana ini ingin menampilkan sebuah pokok dilema teolog katolik yang mencoba membuat ajaran tradisional katolik dimengerti dan relevan pada zamannya. Para teolog tersebut seringkali harus bekerja dalam sebuah rumusan doktrinal yang telah berurat akar dalam tradisi katolik tetapi dibatasi oleh konteks historis dan budaya kepengarangannya.

PERMASALAHAN
Permasalahan yang dimunculkan dalam makalah ini adalah refleksi teologis mengenai dosa asal. Refleksi teologis mengenai dosa asal menurut ajaran gereja katolik harus menghadapi semacam dilema. Dilema ini muncul dalam suatu pertanyaan: Bagaiamana memasukkan wawasan-wawasan yang bersifat situasional, eksistensial dan evolusioner dewasa ini ke dalam upaya pengartian doktrin tersebut sembari tetap setia pada rumusan konsili Trente. Rumusan konsili Trente sendiri menegaskan bahwa dosa asal diteruskan kepada keturunan Adam dengan cara propagatione non imitatione (dengan prokreasi bukan karena meniru. Ajaran doktrin tersebut memunculkan implikasi-implikasi yang jelas antara lain: penyamaan dosa dengan tindakan prokreasi sosial dan nuansa hubungan biologis ras manusia. Oleh karena itu, teolog-teolog katolik telah berusaha untuk menemukan arti dan maksud yang otentik dari rumusan Trente dengan memberikan arti yang lebih luas dari kata “generasi” dari sakedar prokreasi secara fisik.

TUJUAN PAPER.
Kiranya, tulisan ini mempunyai dua tujuan yang akan dicapai yaitu; pertama, menguji secara singkat reinterpretasi teologis dari istilah ‘propagatione’ dari ungkapan konsep dosa dunia. Kedua, menegaskan bahwa sebuah interpretasi psikoanalisis mungkin membantu dalam memperjelas arti tradisional dan maksud semula dari rumusan doktrin konsili Trente tersebut.

Konteks tulisan
Setiap rumusan tentu tidak dapat begitu saja dilepaskan dari konteks yang melingkupinya. Demikian juga maksud dari rumusan propagatione non imitatione merupakan suatu usaha untuk menolak pandangan Pelagius yang mengatakan bahwa setiap individu terseret dalam dosa oleh teladan Adam dengan model peniruan (imitatione). Formula ini dimaksudkan untuk mempertahankan universalitas dosa dan kekhasan baptisan bayi. Namun demikian teolog katolik dewasa ini tidak hanya berhenti pada sejarah untuk menjelaskan mengenai istilah propagatione (procreasi), melainkan mencoba menjabarkan secara lebih luas dari sekedar arti prokreasi secara fisik. Proses prokreasi tidak berhenti pada kelahiran tetapi juga dalam keseluruhan proses termasuk perkembangan relasi setiap individu dalam dunia manusia. Namun demikian dosa dimana manusia mencapai solidaritasnya dengan yang lain merupakan dunia yang penuh dosa. Dengan demikian dosa asal dimengerti ‘ tidak sebagai sesuatu yang statis begitu manusia lahir, melainkan secara instrinsik sebuah dimensi historis manusia dalam dunia yang penuh dosa dan tumbuh sebagai partisipasi kita dalam perkembangan kemanusiaan yang penuh dosa.”
Dalam sebuah pandangan “situasional”, dosa adalah “asal” karena sudah terberi bukan karena kodrat individu manusia melalui prokreasi fisik, melainkan karena situasi dimana manusia lahir dan menjadi bagian di dalamnya. Lebih lagi, partisipasi manusia dalam dosa-dosa dunia bukan pertama-tama karena sebuah keputusan yang sadar (non imitatione) . Melainkan dosa mempengaruhi setiap manusia sebelum individu tersebut mampu mempertanggungjawabkan keputusan moralnya. Demikian kiranya sesuai dengan pandangan Dubarle:
Because he comes from a race and an environment contaminated by sin, he is himself tainted by this contagion, which enter his being through all the avenue of intrapersonal influence, before he is able to offer the least resistence.
Mungkin sekali pandangan “situasional” ini lebih memuaskan daripada pandangan “personalis” yang berpendapat bahwa setiap individu mau tidak mau masuk ke dalam dosa personal. Namun pandangan situasional rupa-rupanya menyeimbangkan asumsi yang serampangan mengenai pengaruh psikologis dan lingkungan yang berbahaya. Mau tidak mau akan ada luka atau kerusakan kontak di antara aneka macam tingkatan relasi manusi dimana anak kecil menjadi terlibat dan dia membutuhkan pembentukannya, sebagaimana ia membutuhkan makanan untuk membentuk tubuhnya.
Hal senada dikemukakan oleh Louis Monden. Menurutnya, seorang anak sebelum mengalami kebebasan secara sadar sangat dipengaruhi oleh seluruh ketamakan, nafsu, kesombongan, memecah belah, perselisihan dan keirihatian dari kelompok manusianya. Bagi Monden, dosa asal adalah sebuah situasi:
Yang dihasilkan dalam umat manusia sejak dari awal sebuah pilihan awal yang terus berkembang secara manusia sebagaimana umat manusia berkembang dan tumbuh lebih kuat dengan dosa –dosa setiap manusia individu. Di sisi lain, setiap manusia, bahkan sebelum dia mampu menggunakan kebebasannya sesungguhnya secara historis disituasikan dalam umata manusia yang tidak dapat dihindari ditangkap dalam suasana pengaruh kejahatan, sebagai sebuah daerah gelap yang tidak dapat ditakhlukkan oleh kekuatannya sendiri dan yang menghalangi untuk bertemu dengan Tuhan.
Menurut Sharon MacIsaac, ajaran mengenai dosa asal menyampaikan kebenaran bahwa manusia dibentuk oleh lingkungan pada sebuah taraf sebelum mampu memilih. Baginya mungkin sekali bahwa pengaruh lingkungan dapat menjadi salah satu penjelasan yang adekuat terhadap ajaran tradisional propagatione non imitatione.
Kiranya dapat dimengerti jika pengaruh-pengaruh lingkungan dimengerti tidak dalam arti meniru sebagaimana pemahaman superfisial Pelagian yang mengatakan kebebasan untuk meniru, tetapi dihasilkan dalam arti penyelidikan Freud dan ilmu-ilmu sosial yang ulung. Dalam arti demikian, seorang anak dilahirkan dalam sebuah situasi yang penuh kedosaan and yang membentuknya sebelum anak tersebut dapat memilih dan menghormatinya. Suasana tersebut bersifat operatif dari saat dilahirkannya.
Christian Duquoc menggambarkan dosa dunia sebagai sebuah kekacauan tanggung jawab dan kesalahan yang secara konstitutif dalam realitas dalam hubungan saling ketergantungannya sebagai ketulian terhadap kehendak Allah.Duquoc mengindentifikasikan kecenderungan ini untuk menginterpretasikan dosa asal sebagai dosa dunia sejauh berhubungan dengan sebuah perubahan dalam penekanan dari “historical antecedende” ke dinamisme eskatologis sebagau gua aliran utama pendekatan dalam reinterpretasi ajaran katolik mengenai dosa asal dewasa ini. Kecenderungan yang kemudian melibatkan sebuah pandangan yang prosesif dan evolusioner yang melihat dosa asal tidak seberat sebagai suatu hasil tinggalan yang tidak membahagiakan masa lalu tetapi sebagai kebalikan pada saat ini antara sejarah kita dan dinamiskan dari yang mutlak. Misalnya tegangan antara siapa dirinya dan orang yang dipanggil untuk menjadi dalam Kristus.
Teologi mengenai dosa asal sendiri memunculkan dua pertanyaan dasar; pertama ketika dosa asal diidentifikasikan sebagai dosa dunia, apakah teologi tersebut menyediakan sebuah reinterpretasi yang memadai untuk kata “generasi”? Dalam usaha menggali arti generasi untuk menghindari penyamaan bahwa dosa dengan tindakan prokreasi yang tidak dapat diterima, apakah kita berakhir dengan mencap sebagai keseluruhan proses pemeliharan dan pendidikan anak-anak kita penuh dosa? Mungkin lagi bahwa perluasan dalam pemahaman mengenai generasi justru mendapatkan kesan unsur imitasi dari pada sebuah generasi. Jika tidak tentu saja, orang dapat secara kaku pada arti imitasi terhadap kesadaran, imitasi yang dipilih secara bebas. Di samping menangkap maksud bahwa rumusan konsili Trente tersebut dimaksudkan untuk menghukum sebuah pandangan kaum Pelagian, maksud lain yang adalah untuk mengidentifikasi bahwa istilah ini mengandung maksud dosa asal sebagai sebuah yang terdapat dalam kodrat manusia daripada seagai sesuatu dari lingkungan sekitarnya ?
Kedua’ mungkin dapat dimaafkan untuk perubahan besar: apakah dua aliran interpretasi (bersifat situasional dan evolusioner adalah cocok untuk keseluruhan?

Apakah konsep dosa dunia yang mampu menarik sebagaimana terjadi pada visi akan sebuah situasi penuh dosa yang meningkat dimana individu-individu harus hidup memasuki konflik dengan sebuah visi yagn lebih optimis mengenai pemenuhan eskatologis sebagai puncak proses sejarah perjuangan manusia? Jika orang melihat dirinya tak berpengharapan terjaring dalam dunia yang penuh dosa, pilihan-pilihan mereka akan namapak menjadi:
¨ Meninggalkan dunia dan mencari sebuah model keselamatan individualistik
¨ Mengejar sebuah jalan idealisme dimana otentisita diri mereka dan keselamatan dunia sebagai hal yang dapat dicapai manusia. Ini bertentangan dengan iman.
Penulis menegaskan bahwa kesadaran akan dosa yang merupakan suatu pra kondisi yang dibutuhkan untuk beriman tidak berasal atau muncul dari realisasi solidaritas seseorang dengan kemanusiaan yang penuh dosa melainkan dari realisasi ketidakmampuan orang itu itu sendiri dan “karya baik” peradapan manusia untuk menjadi otentik / membenarkan eksistensi seseorang. Untuk santo Paulus, Iman menjadi mungkin hanya ketika orang diyakinkan akan ketidakmampuan karya hukum.
Pandangan bahwa kebutuha manusia untuk penebusan menjadi nampak meyakinkan hanya pada titik tertinggi pencapai religius, moral dan budaya sangat cocok dengan pandangan evolusioner dosa asal. Hanay pandangan seperti itu menemukan sebuah tampat bagi kemajuan dan inisiatif (sebagai pembuka yang dibutuhkan iman). Keselamatan tidak lagi hanay sebagai penyelamat individu-individu dari dunia penuh dosa yang tak berpengharapan tetapi sebai pencapaian eskatologis tujuan usaha manusia yang transenden, contohnya tujuan yang melampaui pencapaian usaha manusia.
Theodore Rozask berpendapat: rumusan terbai untuk menggambarkan kondisi manusia TIDAK: semakin berdosa individu semakin dia menyadari kebutuhan akan penebusan tetapi karena semakin religius seseorang menjadi semakin dia menyadari kebutuhan akan penebusan. Dalam bahasa Roszak” everything get worse as they get better”.

II
Pada point ini, pengarang yakin bahwa sebuah interpretasi psikoanalisis mengenai kata “generasi” mungkin (membuktikan) sangat membantu dalam diskusi.
Mengingat konsep dosa dunia mempertanggungjawabkan ketidaktertolakan dan universalitas dosa dalam arti pengaruh lingkungan yang terluka kepada seornag anak sebelum anak itu mampu memilih berdasarkan kesadaran moral, psikoanalisis perkembangan manusia menempatkan asal kesealah secara tepat dalam usaha-usaha unsur lingkungan anak untuk menyalurkan nilai-nilai moral. Memakai pandangan ini terhadap dosa asal melibatkan proses reinterpretasi istilah generation dalam terang sebuah konsep seperti generativity Erik Erikson jelaslah bahwa reinterpretasi generasi sebagai sebuah proses dalam kosep dosa dunia di dasarkan pada wawasan psikologis ke dalam kodrat pembentukan manusia. Namun demikian, teori psikologi dapat digunakan sebagai alat interpretatif untuk sebuah pemahaman teologis seperti Tuhan, pembenaran, rahmat dan penebusan. Jika kita ingat bahwa kata-kata itu adalah konseptualisasi pengalaman manusia yang dapat diakses ke dalam analisa psikologis. Dalam bidang antara psikologi dan teologi, apa yang dicoba untuk ditemukan adalah dasar eksperensial umum baik bagi wacana teologis maupun psikologis.

Kata seward Hiltmer: Jika studi teologi berisi tentang Tuhan, manusia, dosa dan penyelamatan, kemudian semacam pemahaman psikologis yang sekarang menjadi mungkin untuk dihubungkan ke empat bidang di atas. Dengan kata lain, ada suatu arti bahwa pengetahuan psikologis adalah sebuah aspek dari keseluruhan pengetahuan..

Dialog level teologi dan psikologi ini adalah pandangan fundamental kodrat manusia dan kondisi manusia yang implisit dalam wacana psikologis. Dalam level ini bahasa psikologis dan religius bersinggungan dalam menggambarkan tipe-tipe pengalaman manusia yang pasti. Dalam konteks makalah ini, konsep arti eksperiensial teologis yang sedang kita temukan kembali adalah konsep mengenai dosa asal. Apapun arti konsep ini nantinya, dipaskitkan akan merujuk pada pengalaman kita mengenai dimensi tragis eksistensi manusia. Rasanya tepat untuk menempatkan konsep ini ke dalam dialog Freudian dan psikoanalisis pada pengalaman yang sama.
Bagi Erikson, istilah “generativity” menampilkan sebuah perluasan logis dari model perkembangan manusia ala psikoseksual Freud. Bagi Freud, titik puncak perkembangan adalah seksualitas genital dalam kedewasaan masa muda. Erikson memperluas pandangan tentang manusia dengan menunjukkan intimitas seksual “menuntun pada sebuah perluasan yang teratur dari kepentingan ego dan investasi libidinal dimana sedang dibangkitkan. Investment libidinal oleh Erikson dinamakan generativity = perhatian dalam menetapkan dan menuntun generasi berikutnya.
Konsep generativity berangkat dari sebuah interpretasi dari kata generasi, bukan tindakan prokreatif tersendiri tetapi sebuah proses. Bagaimanapun juga proses ini tidak lagi proses negatif dari dipadukan ke dalam lingkungan yang penuh dosa dengan menghasilkan konsekwensi kejahatan, tatapi sebih sebuah proses parenting, nurturing dan educating dimana kemanusiaan tidak membiarkan yang jelek menggerogoti anak, tetapi yang terbaik menyalurkan prinsip-prinsip dan nilai moral.
Dalam teori psikoanalisis ditegaskan bahwa pada saat semacam itu, menginternalisasikan prinsip-prinsip moral sedemikian rupa yang membuat sang anak mengalami pengalaman bersalah pertama kali dan dalam bahasa religius dikenal sebagai kesadaran akan dosa.
Untuk membahas, perlu mengingat rumusan final teori insting Freud. Ia melihat dualisme sebagai karakteristik kondisi manusia digambarkan sebagai konflik antara Eros, isnting kehidupan dan Insting kematian. Eros tidak lagi diidentifikasi secara sederhana dengan seksualitas tetapi sebagai sebuah ekspresi dari sebuah insting yag lebih dasar yagn berfungsi untuk menjaga substansi hidup dan bekerja sama (bergabung dengan kesatuan yang lebih luas). Eros adalah kekuatan yang menyatukan yang dilayani oleh proses civilisasi yang mempunyai tujuan untuk menggabungkan setiap individu, kemudian keluarga, ras, masyarakat, dan bangsa ke dalam satu kesatuan yang besar yaitu umat manusia. Insting kematian adalah sebuah kekuatan yang memecah belah. Insting ini berfungsi untuk membubarkan kesatuan yang dicapai oleh kesatuan-kesatuan hidup individu. Insting kematian bersifat operatif. Dalam kematian fisik terurai kesatuan organisme sel dan kembali ke dalam sebuah keadaan in organik. Hal ini juga berlaku dalam mekanisme-mekanisme seperti self preservation yang mengurai kesatuan interpersonal.
Peradaban (pada Freud), disokong oleh konflik Eros dan kematian. Agresivitas manusia bersumber dan mewakili yang utama kekuatan kematian. Agresi merupakan hasil dari diubah kekuatan destruktif budaya kematian. Kemudian menjadi tugas peradaban melalui institusi kulturalnya (Gereja, Negara, keluarga, sistem hukum dll) untuk menekan ekpresi luar dari insting kematian. Kemudian menciptakan kondisi-kondisi dimana Eros dapat berkembang dan menang atas kematian. Proses tersebut bagaimanapun juga berubah menjadi self-defeating (penahklukan diri) di bawah pengaruh represi-represi peradaban, sekali lagi agresi menjadi terinternalisasi, tetapi pada saat ini dalam bentuk rasa bersalah, karena agresivitas yang direpresi disediakan oleh superego dan kembali lagi ke ego seorang diri. Insting kematian sekaran dialami dalam bentuk rasa salah dan kebutuhan untuk hukuman. Dalam usaha untuk membuat Eros menang atas kematian , secara paradoks peradaban sukses hanya dalam membawa masyarakat di bawah dominasi insting kematian dalam bentuk kesalahan. Freud tampak telah menerima peradaban sebagaimana Paulus menerima hukum Musa, sebagai otoritas asing yang menjanjikan kehidupan tetapi menyalurkan kematian dalam bentuk kesalahan (Rom 7:9-10)
Dalam hal ini internalisasi larangan-larang kultural terjadi pada fase oedipal perkembangan anak. Bagi Freud, tugas perkembangan di tahap ini merupakan resolusi oedipus complex secara sukses. Kompleksitas perasaan ditambahkan oleh Freud pada anak usia 4-5 tahun terhadap orang tuanya. Ketertarikan kepada ibunya sebagai sebuah obyek cinta seksual, perasaan benci dan cinta yang ambivalen terhadap ayahnya sebagai seorang pesaing untuk cinta sang ibu. Dalam pandangan Freud, ketika kompleks dapat dipecahkan secara sukses dua hal akan terjadi: anak meninggalkan ibu sebagai objek seksual dan cintanya untuk si ibu menjadi “tujuan yang malu-malu” afeksi yang lunak; yang kedua, si anak akan mengidentifikasi dengan ayahnya, memperkuat maskulinitasnya dan menginternalisasikan perintah-perintah dan larangan-larangan ayahnya. Hasil dari pembatinan ini adalah pembentukan superego dan permulaan kesadaran. Dengan cara ini akan mempu mengatasi permusuhan dengan ayahnya dengan memindahkan sumber-sumber larangan dan tantangan-tantangan terhadap dorongan-dorongan instingtual dari sebuah sumber dari luar (ayah) keapa sebuah sumber dari dalam (superego).
Pembatinan dari otoritas ayah adalah permulaan proses internalisasi larangn-larangan kultural peradaban . Dalam hal ini sang ayah menampilkan diri sebagai otorita budaya yang asing yang memutuskan apa yang baik dan apa yang jahat. Sebagai seorang anak yang tumbuh, internalisasi otoritas yang sama akan terwujud dalam bentuk-bentuk hidup bersama yang lebih lebar mengatasi keluarga. Kemudian “ hilangnya kebahagiaan melalui tingginya rasa salah” dimana Freud melihat sebagai harga dari semacam pembatinan otoritas secara terus menerus diperkuat.
Karena budaya taat terhadap sebuah rangsangan erotis internal yang menyebabkan manusia menjadi satu dalam sebuah kelompok yang terajut secara dekat, budaya hanya dapat mencapi tujuan tersebut melalui sebuah penguatan rasa bersalah yang semakin meningkat. Apa yang dimulai dengan relasi dengan sang Ayah disempurnakan dalam relasi terhadap kelompok.
Perhatian bahwa sementara Freud setuju bahwa anak sampai pada sebuah perasaan bersalah melalui kontak dengan lingkungan, kodrat untuk kontak tersebut berbeda secara keseluruhan dari apa yang ditegaskan oleh teologi mengenai dosa dunia. Dalam pandangan Freud, hal itu bukanlah pengaruh-pengaruh jahat budaya yang membantu perkembangan rasa bersalah dalam individu. Melainkan lebih hal ini merupakan usaha-usaha terbaik budaya dari sisi individu- usaha dari orang tua untuk menularkan nilai-nilai budaya dan moral dan usaha-usaha lembaga budaya untuk menuntun kemanusiaan menuju tujauan peradaban “dorongan-dorongan erotis” seperti persatuan “seluruh manusia “ secara mutlak (kerajaan Allah)- yang tidak dapat ditolak dapat menghasilkan rasa bersalah.
Mengapa harus terjadi demikian? Mengapa usaha-usaha mulia manusia yang beradab menjadi semacam penahklukan diri? Jawaban Freud adalah bahwa akar dari masalah tidak terletak dalam institusi budaya umat manusia tetapi dalam kodrat manusia individu itu sendiri? Seperti dualitas Eros dan kematian. Bagi Freud, dorongan negatif yang merusak berada menjadi bagian dari peradaban, sebagaimana Paulus mengatakan bahwa dosa merupakan bagian dari hukum. “ Sin was in the world before the law was given, but sin is not counted where there is no law (Roman 1:5) . Dosa sebagai sebuah yang terberi dalam existensi manusia, menjadi tampak menyakitkan melalui pelanggaran terhadap hukum yang menginspirasikan. Kesalahan bagaimanapun juga sebagai kesadaran penuh dosa yang menyakitkan, adalah hasil perjumpaan seseorang dengan hukum. Hal ini searah dengan pandangan Freudian bahwa kesalahan adalah hasil perjumpaan individu dengan represi budaya peradaban. Baik Freud maupun Paulus setuju bahwa dosa dikandung sebai sebuah egoisme yang bersifat memecah dan mengasingkan yang bertentangan bahwa “kehidupan” adalah obyek usaha peradaban dan religius, berakar dalam kodrat manusia individu and apa yang dihasilkan oleh kontak individu dengan lingkungan budaya dan religius buakanlah dosa melainkan kesadaran akan dosa seperti, kesalahan.
Apa yang diteruskan oleh generasi? Jika oleh generasi kita maksudkan dengan seluruh proses parenting, nurturing dan educating, sebagaimana ditegaskan oleh Erikson dengan istilah ‘generativity”, kemudian apa yang diteruskan adalah sebuah rasa bersalah. Sekarang kesalahan secara tidak langsung menyatakan tanggung jawab personal dan kemudian ada dalam pelanggaran larangan-larangan religius dan budaya bahwa tanggungjawab gagal. Tetapi pada saat yang sama kesalahan dikenali bahwa ada sebuah aspek di luar kemauan terhadap dosa yang menginspirasikan pelanggaran. Aspek di luar kemampuan ini – hukum-hukum dalam anggota-anggotaku ini – adalah sebuah pemberian yang eksistensial, dan bagaimanapun juga kondisi kemanusiaan secara universal. Dalam beberapa ajaran dosa asal, ada tegangan antara dua unsur-unsur, universalitas dan tanggung jawab personal. Maksud yang jelas dari mitos mengenai Adam adalah untuk menjelaskan universalitas dosa. Dapat dicatat di sini, dalam penyampaian, bahwa teori Freudian dalam primal horde dapat dibaca sebaai sebuah tipe mite yang sama. Sebagaimana orang kristen setiap individu mengulangi dosa Adam, bagi Freud setiap dalam pengalaman oedipus, menghidupkan kembali pengalaman primal horde..
Dalam kedua kasus, bagaimanapun juga, mite tersebut memberikan sebuah ekspresi terhadap satu kebenaran eksistensi manusia tanpa menerangkan nya ke dalam hubungan sebab akibat. Jika kita mengambil pandangan eskatologis mengenai dosa asal yang disebutkan di atas, kemudian dosa menjadi kondisi universal dari kemanusiaan yang tidak tertebus, atau kontradiksi antara eksistensi seseorang saat ini eksistensi seseorang yang hanya dapat direalisasikan dalam pemenuhan janji eskatologis dalam Kristus. Pengalaman yang menyakitkan dari jarak antara eksistensi aktual dan mahkluk esensial adalah pengalaman umat manusia universal, dan ini menampilkan aspek dosa yang ada di luar kemampuan.
Mungkin bagaimanapun juga, perlu untuk memelihara kedua arti dari “generasi” sebagai rujukan untuk peristiwa kehamilan dan kelahiran dan juga untuk proses generatif yang digambarkan oleh Erikson. Dilahirkan berarti masuk eksistensi umat manusia dan untuk menanggung alienasi dari esensinya sendiri yang menjadi tanda dari eksistensi tersebut. Generasi, dalam hal ini berarti merujuk pada masuknya setiap individu dalam eksistensi manusia yang oleh Paul Tillich menampilkan sebuah kejatuhan dari esensi ke dalam eksitensi, sebuah masuknya kedalam keterbatasan seseorang yang termasuk ketidakterbatasan. Tetapi generasi dapat juga dimengerti sebagai proses dimana dengan itu setiap individu menjadi sadar akan kondisi realnya, misalnya proses religius dan budaya dari “makan dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat”, dari pembatinan nilai-nilai moral dan budaya. Proses ini membawa rasa bersalah dan tanggung jawab personal. Kedua interpretasi istilah “generasi ‘ adalah secara fundamental bertentangan dengan generasi yang dirumuskan oleh teologi mengenai ‘dosa dunia” . Generasi sebagai “kelahiran” menegaskan bersifat personal daripada sebagai sebuah pemahaman dosa asal secara situasional. Dosa dilihat sebagai sebuah yang terberi dalam kodrat manusia daripada sebasi sesuatu yang diperoleh dari lingkungan. Generasi sebagai sebuah proses di sisi lain, dilihat sebabagai sebuah proses yang berbeda secara fundamental dari apa yang ditegaskan oleh konsep mengenai dosa dunia. Dosa bukanlah hasil dari sebuah pengaruh lingkungan yang jahat; dosa atau kesadaran kita akan dosa adalah secara paradok merupakan hasil dari pengaruh lingkungan yang bermanfaat. Penafsiran seperti ini menurut penulis menjadi lebih memelihara dengan maksud rumusan konsili Trente yang menekankan dosa pada individu intu sendiri bukan pada lingkungan.
Harus dicatat di sini, sebagai kesimpulan, bahwa sebagaimana yang dicatat di atas, doktrin mengenai dosa asal menghadapi tantangan untuk mendamaikan tanggung jawab personal dengan universalitas (dan bagaimanapun juga sebuah aspek yang tidak diiingini) dosa. Dalam fakta pandangan Tillich tentang interpretasi kejatuhan, yang kita rujuk tampak menekankan aspek universal dan “diluar kemauan’ dosa , dan menegaskan bahwa ciptaan tidak baik, point-point ini yang perlu dilihat:
1. Alternatif terhadap interpretasi Tillich akan tampak menempatkan sumber kejahatan dalam kebebasan memilih manusia. Pilihan ini memunculkan pertanyaan lebih jauh mengenai otonomi Allah dan kemahakuasaannya atas ciptaan. Lebih lagi, pandangan ini gagal untuk secara kuat mempertanggungjawabkan konsep universalitas dosa.
2. Tillich sama sekali tidak mau menolak kebaikan ciptaan secara esensial atau kodrat manusia. Posisinya adalah bahwa konsisi esksistensi aktual kita ini adalah satu dari pemisahan kebaikan yang esensial. Dosa adalah keadaan keterpisahan dari Allah, dari sesama dan dari jati diri esensial kita sendiri.
3. Kebaikan ciptaan secara umum dan kodrat manusia secara khusus, menurut penulis tidak bisa dimengerti dalam keadaan yang sederhana atau secara ontologis. Kita tidak dapat bertanya dengan term yang sangat simple, “Apakah ciptaan itu buruk atau baik?” kalau simple kita akan gagal mempertahankan kualita perkembangan dan penebusan menjadi manusia. Pandangan Tillich tampak menegaskan bahwa kebaikan esensial kodrat manusia bukanlah sesuatu yang terberi tetapi tujuan yang akan diraih melalui sebuah proses perkembangan yang memasukkan sebuah faktor penebusan. Dengan kata lain, kebaikan kodrat manusia yang esensial menampilkan tujuan perkembangan manusia, tetapi sebuah tujuan yang transenden yang mengatasi pencapaian manusia dan dapat direalisasikan, dalam pandangan kristen hanya melalui rahmat yang terwujud dalam Yesus Kristus. Untuk memelihara kebaikan kodrat manusia yang esensial tidak perlu untuk percaya bahwa kebaikan sepenuhnya diaktualisasikan dalam peristiwa kelahiran. Seperti ciptaan yang lain, kita sedang “enunggu dengan penuh kerinduan” pada tingkat pemenuhan. Dan kita, “mengeluh dalam hati batin “ karena pemenuhan keselamatan yang kita inginkan bukanlah fakta yang sudah terpenuhi melainkan sesuatu yang harus kita tunggu dengan sabar (Rom 8:18-25)

teologi salib injil Yohanes

Dialah murid, yang memberikan kesaksian tentang semuanya ini,
dan yang telah menuliskannya, dan kita tahu bahwa kesaksiannya itu benar.
Yohanes 21:24

Selain itu, kalau kita mengacu pada Yoh 7:38-39 seperti sudah disinggung di atas,
saat penyaliban Yesus adalah saat pemuliaan sehingga Dia bisa menyerahkan Roh-Nya!
( V. Indra Sanjaya, hal 128)

Paham mengenai gambaran ideal kemuridan dan teologi salib menurut Yohanes dikupas dalam buku Yesus, Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi dengan cukup menarik, mudah dipahami dan inspiratif. Saya sangat menikmati bacaan tersebut terutama karena gaya bahasa yang sederhana dan enak dibaca untuk sebuah buku yang mengupas Injil Yohanes. Selain karena tugas kuliah, saya merasa bahwa pendalaman pada tema kemuridan dan teologi salib membuka suatu cakrawala baru bagi saya. Oleh karena itu, saya akan mencoba mendalami dua tema tersebut dengan sedikit sistematis dan kritis sehingga menjadi kekayaan khazanah pemahaman sidang pembaca.

Murid yang Dikasihi: Murid yang Ideal
Begitu mendengar kata murid-murid Yesus, tentu dengan seketika perhatian kita akan berfokus pada Simon Petrus dan murid-murid yang lain. Dengan mudah kita akan memberikan penilaian bahwa merekalah murid-murid Yesus yang asli. Tentu kita pun akan dengan mudah memberikan sebuah referensi bahwa merekalah murid-murid yang ideal. Benarkah demikian? Yohanes Penginjil ternyata mempunyai kriteria lain berkaitan dengan murid yang ideal. Yohanes menampilkan sosok misterius yaitu murid yang dikasihi Yesus. Identitas tersebut tetaplah misterius. Yohanes juga tidak menyebutkan identitas murid yang dikasihi-Nya dengan terbuka. Memang Yohanes menempatkan murid yang dikasihi-Nya dengan Petrus (bdk: Yoh 13:23-24, Yoh18:15-18, Yoh 19:26-27, Yoh 20:2-10, Yoh 21,7 dan Yoh 21: 20-23).[1] Romo Indra mencatat bahwa murid yang dikasihi inilah yang menjadi saksi otoritatif komunitas Yohanes. Dia merupakan saksi istimewa akan peristiwa salib.
Untuk itu, kiranya kita dapat mencoba meneliti lebih jauh mengenai ciri-ciri kemuridan yang ideal. Murid Yesus yang ideal menurut Yohanes mempunyai beberapa kriteria[2] antara lain: mengikuti Yesus sampai ke kaki salib (bdk. hlm 104) , bukan dari dunia ini (bdk hlm105), pengganti Yesus yang wafat (bdk hlm. 107), mempunyai hubungan spiritual, bukan hanya karena hubungan darah (bdk hlm. 108), memperkenalkan /membawa orang kepada Yesus (28). Untuk lebih memperdalam kiranya, kita perlu merumuskan dalam 3 ciri utama murid Yesus yang ideal, yaitu:
Pertama, seorang murid yang ideal adalah mengikuti Yesus sampai ke kaki salib. Memang untuk mencapai tujuan tersebut banyak ujian yang harus dialami oleh murid Yesus. Sebagai contoh, Petrus yang dalam arti tertentu gagal untuk sampai ke salib Yesus karena menyembunyikan identitas kemuridannya di hadapan penjaga. Justeru murid yang lain –yang dikenal oleh Imam Besar- berhasil sampai di bawah kaki Salib Yesus. Setelah murid itu bersama dengan Simon Petrus (Yoh 18:15-16), ia merupakan satu-satunya murid lelaki yang sampai ke kaki salib. Menurut Yoh 19:33, dia merupakan saksi mata dari peristiwa penyaliban tersebut. (bdk hlm 104)
Kedua, murid yang ideal adalah pengganti Yesus yang wafat. Dalam konteks relasi Ibu Yesus dengan murid, Ibu Yesus disejajarkan dengan Hawa, yang menjadi ibu semua yang hidup (Kej 3:20). Kini dengan menerima murid yang dikasihi, Ibu Yesus menjadi ibu semua murid Yesus, yang memberikan hidup kekal pada mereka. Murid yang dikasihi Yesus lalu menjadi pengganti Yesus yang segera akan wafat seperti yang dikatakan Hawa dalam Kej 4:25 ,” Allah telah mengaruniakan kepadaku anak lain sebagai ganti Habel; sebab Kain telah membunuhnya.” (bdk hlm. 105). Dengan demikian ditegaskan pula bahwa murid yang ideal tidak berasal dari dunia ini. (Yoh 17,14).
Ketiga, murid Yesus yang ideal mempunyai relasi iman dengan Yesus sendiri. Relasi kemuridan tidak pertama-tama berupa ikatan darah melainkan ikatan spiritual dan ketaatan kepada kehendak Allah (bdk Mark 3:31-35, Mat 12:46-50 dan Luk 8:19-21). Melalui kata-kata terakhir Yesus, Ibu Yesus yang mewakili hubungan darah diterima dalam kelompok yang menekankan hubungan spiritual dengan Yesus, yang diwakili oleh murid yang dikasihi Tuhan. Dengan demikian dibuka kemungkinan bahwa mereka yang berada dalam garis hubungan darah dengan Yesus menjadi kelompok yang dicirikan hubungan rohani (kelompok murid-murid Yesus). Hal ini misalnya terjadi pada diri Yosef Arimatea dan Nikodemus.

Murid yang Dikasihi Versus 12 Rasul
Menurut Romo Indra, murid yang dikasihi adalah tokoh utama komunitas Yohanes. Memang dalam Injil Yohanes, kita menemukan persaingan terselubung antara murid yang dikasihi dengan Petrus yang merupakan jagonya komunitas kristen yang utama. Menurut Yohanes, murid yang dikasihi selalu menang. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa juga dalam menerima Roh Yesus, murid yang dikasihi mendapatkan prioritas. Baru nanti sesudah kebangkitan, Yesus menghembuskan RohNya pada para murid (kelompok 12) yang berkumpul di suatu tempat yang pintu-pintunya terkunci. (lihat hlm 129). Murid yang ideal menurut Yohanes, adalah murid yang hadir di bawah kaki salib. Oleh karena itu kemuridan Yesus mempunyai konteks dalam peristiwa penyaliban. Bagaimana ini dapat dipahami? Tentu kita akan mencoba menelaah makna salib dalam teologi Yohanes, sehingga kita dapat melihat bagaimana kemuridan dalam Yohanes mempunyai suatu konteks yang baru.


Teologi Salib: Penyaliban sebagai Pemuliaan
Setiap orang akan memandang bahwa peristiwa penyaliban sebagai suatu penderitaan dan kegagalan. Namun demikian Yohanes mempunyai pemikiran teologis yang berbeda. Penyaliban Yesus Kristus menurut Yohanes adalah pemuliaanNya. Bagaimana gagasan teologi salib Yohanes ini dipahami?
Menurut Romo Indra, sejak dari permulaan, Yohanes menampilkan Yesus sebagai tokoh yang berkualitas ilahi. Dia adalah firman yang ada sejak semula, yang bersama-sama dengan Allah dan yang adalah Allah – yang menjadi daging dan memasang kemah di antara kita. Selain itu, kalau kita mengacu pada Yoh 7:38-39, saat penyaliban Yesus adalah saat pemuliaan sehingga Dia bisa menyerahkan Roh-Nya.[3] Beberapa gagasan pendukung gagasan teologi Yohanes tentang salib kiranya dapat dirangkum demikian:
Pertama, berdasarkan Yoh 12,33 dan Yoh 18,32 muncullah suatu penegasan bahwa kematian Yesus adalah peninggianNya di kayu salib. Dengan disalib, bumi justeru akan meninggikan Dia! Oleh karena itu, bagi orang beriman, salib Yesus lalu menjadi naiknya Yesus ke tahta kerajaan dengan penuh kemenangan ( hlm 59).
Kedua, dapat dilihat penetapan tulisan ‘Yesus, orang Nazaret raja orang Yahudi”. Tulisan di atas kepala Yesus dikukuhkan oleh Pilatus sebagai sebuah pernyataan kebenaran. Dalam Yoh 19,15, orang Yahudi mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai raja selain Kaisar. Ironisnya, wakil kaisar sendiri yang sekarang memaklumkan seorang raja yang lain yang jauh lebih agung daripada kaisar (bdk, hlm 97 dan diperkuat hlm 73).
Ketiga, di akhir hidupNya, tak seorang pun pengarang Injil menggunakan kata wafat atau mati. Yohanes merumuskan demikian: Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya (harafiah: RohNya). Dengan berdasarkan pada Yoh 10,30 dan Yoh 16,32 maka tafsiran Yohanes bisa dibahasakan demikian: Yesus menundukkan kepalaNya kepada Maria – ibuNya dan murid yang dikasihiNya. Karena Ia dan Bapa adalah satu, Ia menyerahkan Roh-Nya pada Ibu-Nya dan murid yang dikasihiNya. (lihat hlm 128).
Keempat, penikaman lambung Yesus yang mengeluarkan darah dan air disejajarkan dengan kutipan Za 12,10. Kutipan ini mau mengatakan tentang Allah yang mencurahkan Roh sejajar dengan ungkapan darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus, yang juga mempunyai makna pencurahan Roh (lihat hlm 148).

Penutup
Salib yang merupakan batu sandungan bagi orang-orang Yahudi maupun suatu kebodohan bagi orang-orang bukan Yahudi ( I Kor 1,23) ternyata menjadi sarana penobatan Yesus sebagai Sang Raja Agung. Dengan salib Kristus, penderitaan manusia dapat mempunyai arti. Kita dapat memaknai penderitaan sekaligus melihatnya dengan mata iman. Salib bukan merupakan suatu tanda kebinasaan, kekalahan dan kehancuran, tetapi justeru menjadi sarana untuk sampai kepada kemuliaan, yaitu suatu kemuliaan yang bukan dari dunia ini. Kiranya makna salib sebagai pemuliaan menjadi suatu dorongan untuk menjadi murid yang dikasihi Yesus.


[1] Secara lebih detail dapat dicermati pada buku Yesus, Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi, hlm 129-130)
[2] Kriteria tersebut merupakan rangkuman dari analisa Romo Indra seputar kualitas hidup yang nampak dalam diri Murid yang dikasihi-Nya. Oleh karena itu, dasar dari kriteria murid yang ideal pada Yohanes terletak pada sosok misterius murid yang dikasihi-Nya.
[3] Namun demikian Yohanes juga menempatkan kematian Yesus dalam konteks teologi korban. Dengan memperhatikan Yoh 1,29 dan 19,28 muncul suatu inklusi yang menggambarkan perjanalan Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia melalui wafat-Nya di kayu salib. Dilihat dari perspektif lain Yesus sebagai Anak Domba Paskah yang baru menjadi pemenuhan dan penyempurnaan teologi korban dalam Perjanjian Lama (lihat hlm 121-122). Namun demikian saya lebih menegaskan gagasan dasar teologi Yohanes yang menempatkan penyaliban sebagai pemuliaan.

Jb Metz

Fungsi Sosial Gereja dalam Terang “Teologi Politik”
(dalam Concilium Vol 6 No 4, Juni 1968, hlm 3 – 11)

1. Langkah-langkah karangan dan isinya yang pokok
1) Pertama-tama dipaparkan mengenai “Teologi Politik” yang dipandang sebagai (1) suatu koreksi kritis terhadap kecenderungan teologi kontemporer yang berkonsentrasi pada perihal yang berkaitan dengan privat-individual, dan (2) suatu usaha positif untuk merumuskan pesan eskatologis dalam situasi masyarakat dewasa ini. Dua hal ini dijabarkan dengan
q (1) melihat fungsi kritisisme di dalam teologi yang ditunjukkan dengan kecenderungan teologi untuk memperlakukan Kristianitas sebagai suatu perhatian privat – yang tidak terhubung dengan dunia, dan pentingnya demitologisasi serta sikap kritis terhadap kecenderungan pandangan privat tersebut, serta
q (2) menjelaskan tugas teologi politik berkenaan dengan hubungan antara agama dan masyarakat – antara gereja dan masyarakat publik yang berakar dari sejarah dan tradisi biblis serta terarah pada pembangunan jembatan antara teologi eskatologis dan teologi yang memperhatikan situasi aktual dunia.
2) Kemudian ditunjukkan peran dan posisi Gereja sebagai suatu lembaga kemerdekaan yang sosial-kritis. Pokok ini diterangkan dengan
q Pertama-tama melihat dua kesulitan dasar, yaitu (1) apakah sungguh suatu institusi dapat seluruhnya kritis? dan (2) apakah dasar historis dan sosial yang berkenaan dengan Gereja yang dapat mengukuhkan peran kritisnya?
q Kemudian diuraikan fungsi kritis yang membebaskan dari Gereja, yang mencakup (1) pembelaan pada individu, (2) sikap kritis terhadap totalitarianisme, dan (3) perihal cinta kasih sebagai prinsip utama.
q Dan terakhir ditinjau mengenai pengaruh ke dalam (yaitu ke dalam Gereja sendiri) dalam kaitan dengan relasi dengan masyarakat modern yang mencakup: (1) usaha bagaimana menciptakan suatu bahasa baru dari Gereja, (2) efektivitas peran kritis Gereja dalam kaitan dengan pertumbuhan kritisisme publik di dalam Gereja sendiri, dan (3) pentingnya sikap kritis dalam hubungan dengan sikap ideologis yang harus ditinggalkan dan kemungkinan kerja sama dengan pihak-pihak lain.

2. Pesan utama dari karangan
Tulisan J.B. Metz tersebut mau menyampaikan pesan bahwa di dalam dunia dewasa ini yang ditandai dengan perkembangan-perkembangan baru, Gereja sudah semestinya merefleksikan posisi dan peran dirinya secara baru pula dalam proyek pembangunan Kerajaan Allah sedemikian rupa sehingga Gereja menjadi Gereja yang dinamis, manusiawi, aktual, dan kritis terhadap dunia tempat tinggalnya dan terhadap dirinya sendiri.

3. Pertanyaan-pertanyaan
Bagaimana teologi yang senyatanya mau mengajak orang untuk berpikir – dan mendorong orang untuk bertindak berdasarkan iman aktual – ditempatkan dalam hubungan dengan ajaran-ajaran resmi? Sejauh mana peran ‘sosial’ (atau “intervensi”) Gereja dalam dunia hidup bermasyarakat yang pluralis? Bagaimana pembelaan individu bergema dalam kepemimpinan Gereja yang hirarkis?

4. Mengenai ‘suatu lembaga kemerdekaan yang sosial-kritis’
Lembaga ini adalah suatu lembaga di tengah kehidupan dunia kompleks-dinamis, yang mempunyai perhatian pokok pada (1) pembelaan individu di bawah gelombang gerak ke depan masyarakat yang cenderung memperlakukan individu tersebut sebagai semata-mata unsur material atau sarana dalam pembangunan masa depan manusia, (2) perlawanan kritis terhadap bentuk-bentuk totalitarianisme, dan (3) tindakan yang mengedepankan cinta atau komitmen tanpa syarat untuk keadilan, kebebasan, dan kedamaian.

kaum muda di mata Gereja

Pandangan gereja tentang kaum muda
1. Lingkup dunia
Kerap Gereja menyebut kaum muda sebagai masa depan dan harapan, namun harapan tersebut diletakkan dalam keperihatinan- bahwa kaum muda mengalami krisis. Mereka cenderung tidak lagi akrab – bahkan alergi- dengan tradisi dan hidup menggereja dengan segala atributnya.[1]
Dekrit konsili Vatikan II tentan kerasulan awam “Apostolicam Actuositatem artikel 12, memandang kaum muda sebagai kekuatan yang amat penting dalam masyarakat. Kaum muda adalah garda depan dan agen perubahan masyarakat. Dikatakan juga bahwa kaum muda berada dalam situasi perubahan. Gaudium et Spes, artikel 7 juga mengungkapkan pengamatan akan gejala yang sama…”Perubahan mentalitas dan pelbagai struktur kerap menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai yang diwariskan, terutama pada kaum muda, yang kerap kurang sabar, bahkan penuh rasa memberontak karena gelisah dan anti kemapanan,” Bapa Suci Yohanes Paulus II memiliki kepedulian yang besar pada kaum muda (Bdk: wawancara pribadi dengan Vittorio Messorini). Dalam wawancara tersebut, Paus menegaskan bahwa generasi muda zaman sekarang berkembang dalam konteks yang berbeda dengan generasi muda masa-masa sebelumnya. Walau tidak mengalami perang melawan komunisme, fasisme atau negara totaliter, namun generasi muda kini sama-sama memiliki idealisme. (Dulu, “idelogi adalah panglima, namun kini hiburan adalah panglima…” Dalam diri mereka, ada potensi luar biasa untuk kebaikan dan kemungkian yang kreatif. [2] Dalam kesempatan ikut memperingati Tahun Orang Muda se Dunia yang dicanangkan PBB-1995, Paus mengeluarkan surat apostolik.[3] Paus dalam suratnya menyapa kaum muda: “ Masa depan ada di tanganmu!”. Masa muda sebagai masa pencarian dan belajar membuat pelbagai keputusan pribadi. Paus mengingatkan agar kaum muda tidak mudah terpengaruh dampak iklan, ekses negatif multimedia dan pola hidup konsumerisis.
Banyak kaum muda dengan intensitas doa yang sangat tinggi, penuh pemikiran dan berusaha mencari makna persahabatan yang sangat terlibat dalam perayaan Tahun Yubelium Agung. Kaum muda menunjukkan diri mereka sebagai anugerah dan karunia khusus Roh Kudus bagi Gereja. Dengan segala kelemahan dan ambiguitas yang mencirikan diri kaum muda, tampak suatu kerinduan yang mendasar akan nilai-nilai asali dalam diri Yesus Kristus. Kristuslah jawaban yang meyakinkan. Kaum muda dapat menerima pesan ini, bahkan dengan tuntutan salib.

2. Lingkup Asia: FABC
Keperihatinan Gereja terhadap kaum muda bisa dilihat pula dari seruan para uskup Asia yang tergabung dalam FABC (Federation of Asian Bishops Conferences)[4]. Ketika para uskup Asia pertama kali berkumpul di Manila tahun 1970, mereka mengeluarkan sebuah pernyataan yang menggambarkan wajah Asia sebagai benua kaum muda. Hampir 60% orang Asia berusia sekita dua puluh lima tahun ke bawah. Para uskup Asia mengakui bahwa mereka melihat adanya kebangkitan generasi muda di Asia: penuh idealisme, kesadaran dan kepedulian, walaupn kerap kali disertai dengan ketidaksabaran bahkan membereontak saat mengahadapi kondisi sosial ekonomi dan struktur sosial politik di negara mereka. Gereja menaruh sikap peduli pada mereka betapapun diakui bahwa kerap “bahasa” yang dipakai orang muda berbeda dengan generasi sebelumnya dan bahasa yang terjalin dalam komunitas gereja.[5] Pengakuan peranan orang muda juga tampak tercermin dalam pernyataan sidang FABC IV di Tokyo. Dikatakan bahwa generasi muda Asia memegan peranan penting dalam upaya transformasi sosial.[6] Sidang FABC VI di Manila, tahun 1995 sekaligus sebagai peringatan akan usia 25 tahun FABC, diadakan bersamaan denga diselenggarakannya World Youth Day. Dalam sidang yang mengambil tema tentang “Christian Discipleship in Asia Today: Service to Life”, tersebut sempat diselenggarakan sebuah lokakarya seputar kaum muda. Di dalamnya kaum muda digambarkan sebagai orang-orang yang haus akan pengalaman rohani dan ingin menggali pengalaman seluas mungkin. Gereja diajak untuk membuka peluang agar kaum muda dapat menemukan wadah dan saluran untuk mengungkapkan dan mewujudkan pelbagai impian mereka. Sebelumnya, 1994 FABC membuat temu wicara pastoral kaum muda. Dalam kesempatan itu, diungkapkan kembali keyakinan Gereja bahwa masa depan Asia terletak pada kaum mudanya.

3. Lingkup Lokal
Pada tahun 1995, KWI mengeluarkan, “Pedoman Gereja Katolik Indonesia.”[7]. Dalam pedoman tersebut, Gereja Indonesia tidak ingin hanya meletakkan kaum muda dari sudut “persiapan”, yang dipandang demi kepentiang masa depan. Tantangan bagi Gereja adalah bagaimana gereja bisa ikut menciptakan lingkungan tempat nilai-nilai dasar manusiawi dijunjung, sehingga kaum muda dapat bercermin ke dalamnya, saat mengolah proses penemuan identitas dirinya. Keperihatinan tersebut juga diungkapkan dalam “Laporan Gereja Katolik Indonesia.” Saat kunjungan ad limina para uskup kepada Paus, tahun 1996. Para uskup kembali menegaskan bahwa kaum muda tidak hanya dipandang sebagai generasi penerus, tetapi harus dilihat sebagai generasi pembaharu.[8] Sebelumnya di tahun 1993, Komisi kepemudaan KWI mengeluarkan ,”Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda,”. Pedoman yang dikeluarkan untuk kepentingan pengarahan bagi para pembina dan pemerhati kaum muda. Kaum muda dilihat sebagai generasi yang sedan tumbuh dan berkembang, yang berperan sebagai penerus dan pembaharu. Sedangkan mengenai tujuan pembinaan kaum muda dirumuskan sebagai: “berkembangnya diri mereka sebagai manusia dan sebagai orang katolik Indonesia yang tangguh, tanggap dan terlihat dalam hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
Keprihatinan serta kepedulian Gereje terhadap kaum muda ditunjukkan pula oleh KAJ. Bapa uskup, Mgr. Leo . Soekoto, mendirikan “Civita Youth Camp”, sebagai “base camp” kaum muda Beliau juga mendirikan serikat kerasulan kaum muda (kini menjadi komisi kepemudaan. Tahun 1976,Mgr Leo Soekata mengeluarkan surat gembala Prapaskah tentang pembinaan generasi muda. Beliau menegaskan tentang perlunya cinta-terlebih dari keluarga supaya kaum muda bisa berkembang secara sehat.[9] Pada tahun 1986, beliau juga kembali mengeluarkan surat gembala untuk kaum muda. Uskup menegaskan bahwa semua kaum muda Katolik merupakan anggota mudika dan tidak melulu bersaksi di dalam lingkungan gereja.[10] Pada bulan Maret 1989, Leo Soekoto mengesahkan Pedoman Mudika KAJ, yang disusun oleh Komisi Kepemudaan Indonesia. Pedoman tersebut menyebutkan arah pembinaan kaum muda sebagai: “ ……..berkembangknya kaum muda sebagai insan Katolik Indonesia yang mau dan mampu mangamalkan nilai-nilai Kristiani dalam hidup menggereja dan memasyarakat……”
Sinode KAJ seperti tertuang hasilnya dalam Pedoman Pastoral KAJ banyak bicara tentang kaum muda (semoga juga bicara dengan orang muda). Sebelumnya, ada 269 sumbang saran yang berbicara tentang kaum muda.[11] Pada tahun 1995 (juga pada tahun ini, 2003) sebagai tindak lanjut sinode, KAJ menggelar Temu Pastoral, dengan tema kaum muda. Komitmen perhatian Gereja KAJ pada kaum muda diwujudkan secara konkret dengan keputusan untuk menyisihkan dana kolekte 5% untuk kepentingan kegiatan kaum muda [12]

Dewasa ini perikehidupan masyarakat ditandai dengan pengalaman-pengalaman pergeseran cara pandang sebagai akibat dari persentuhan masyarakat dengan kemajuan-kemajuan teknologi dalam berbagai bidang yang pada awalnya secara sederhana dimaksudkan untuk mengupayakan adanya kemudahan-kemudahan yang menunjang aktivitas manusia. Pergeseran cara pandang ini menyentuh pengalaman eksistensial manusia dalam memahami dirinya di tengah-tengah kemajuan material yang diciptakannya sendiri hingga sepertinya manusia beranggapan mempunyai kemampuan untuk mengatasi segala perkara yang muncul dalam hidup sehari-harinya. Dalam gambaran yang lebih konkrit, pengalaman pergeseran cara pandang ini terungkapkan dalam persinggungan kesehari-harian manusia dengan gejala-gejala yang secara sosiologis disebut urbanisasi dan globalisasi. Pada dua gejala ini pengalaman-pengalaman manusia yang bersentuhan dengan dunia agraris yang menempatkan Allah sebagai penjamin dan penyelenggara kehidupan menipis. Dalam urbanisasi, manusia bersinggungan dengan karakter umum yang melekat pada urbanisasi itu yaitu mobilitas dan anonimitas. Kondisi mobilitas ditunjukkan antara lain dalam peristiwa begitu mudahnya manusia modern dalam berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan, kondisi anomimitas ditunjukkan antara lain dalam pengalaman renggangnya hubungan-hubungan relasi. Adapun globalisasi dapat dikatakan ekstensifikasi sekaligus intensifikasi pengalaman urbanisasi. Apa yang terjadi dalam urbanisasi berkembang ke seluruh sudut dunia dengan kondisi yang lebih kompleks yang antara lain dimungkinkan oleh semakin canggihnya alat-alat transportasi dan telekomunikasi sehingga dunia menjadi semacam kampung saja (global village) yang sungguh menggoyang pemahaman manusia mengenai waktu dan ruang. Bahkan pada dirinya sendiri waktu dan ruang menjadi begitu berharga sehingga eksplorasi cara-cara memperlakukan dan menaklukkan waktu dan ruang menjadi terasa hiruk pikuk seperti tampak dalam dinamika modus operandi perdagangan yang tiada henti mencari inovasi-inovasi baru demi keuntungan yang semakin besar. Sangat diharapkan bahwa tidak ada waktu yang terbuang percuma dan munculnya ruang-ruang baru. Tingkat kesementaraan dan ketersebaran menjadi orientasi pokok. Rasa perasaan manusia pun terguncang-guncang oleh adanya berubahnya ritme kerja dan berbagai tuntutannya hingga memunculkan figur-figur workaholic yang menempatkan kerja sebagai prioritas hingga segala sesuatunya harus disesuaikan dengan ritme kerja dan berbagai tuntutannya itu. Akumulasi dari pengalaman workaholic ini pun pada akhirnya mengantar manusia pada kecenderungan untuk mudah merasa terbebani atau stress yang pada tarafnya yang parah muncul dalam gejala schizophrenia. Kecuali itu, dalam kerangka ini, dapat disebut lagi sejumlah kecenderungan yang juga muncul dari kondisi serupa yakni (antara lain) mentalitas instan, kesulitan berkomitmen, besarnya tingkat konsumsi, krisis budaya lokal, dan melemahnya ikatan tradisional. Keseluruhan pengalaman ini merupakan wajah konkrit dari proses sekularisasi, dan manusia sebagai citra Allah ada dalam kondisi dan lingkungan dunia seperti itu.

Gereja dipanggil untuk menjadi Gereja yang hidup Berjalan bersama kaum muda
Kaum muda dapat dikatakan merupakan golongan yang paling dekat dengan sejumlah perwajahan dunia oleh karena sekularisasi. Sementara itu, mereka adalah masa depan dunia (dan juga masa depan Gereja). Dalam pergaulan di antara kaum muda terungkap kegelisahan dan harapan (juga cita-cita segar) yang dalam sejumlah segi bersentuhan dengan kondisi dunia sekular. Bagi Gereja, meninggalkan kaum muda kiranya dapat berarti memusnahkan peluang untuk mewartakan keselamatan kini dan di masa mendatang.



Langkah Pastoral
Sebagai persekutuan manusia, Gereja dan kaum muda juga mengenal proses interaksi yang terjadi antar anggota-anggotanya. Namun berbeda dengan bentuk interaksi lainnya, di sini dasar dan isi tindakan bersama ditentukan oleh apa artinya menjadi kristen bagi setiap orang dan bagi seluruh umat beriman. Kesadaran menggereja itulah yang mempersatukan maksud dan tindakan para anggotanya. Kesadaran eklesial sungguh hadir bila semua sikap dan tindakan individual teratasi dalam sebuah relasi intersubjektif yang membuat kebersamaan menjadi mungkin.
Gaudium et Spes berbicara mengenai keterlibatan Gereja di dalam dunia, termasuk dunia kaum muda; dan itu tidak hanya berarti bahwa Gereja mengambil bagian dalam “perkembangan” kaum muda saja, akan tetapi Gereja secara hakiki bersatu dengan dunia kaum muda. Gereja keluar dari dunia tersebut namun harus tetap ‘berakar’ dalam dunia tersebut. Oleh karena itu, sekularisasi dalam dunia kaum muda tidak berarti penghapusan segala unsur sakral dari kehiduapn Gereja dan masyarkat dalam diri kaum muda, melainkan mempersatukan – dalam penghayatan- agama dan hidup: mengakarkan kembali iman dalam dunia mereka; menghubungkan kembali bahasa agama dengan pengalaman hidup yang nyata; menemukan Allah dan rahmatNya dalam realitas hidup kaum muda sendiri.
Gedung-gedung gereja yang (mungkin) penuh pada hari minggu seharusnya juga menjadi bahan refleksi bagi kita. Agama masih merupakan nilai sosial dalam masyarakat Indonesia, tetapi agama dari dirinya sendiri tidak menjamin iman. Selain itu dalam zaman pembangunan, agama semakin mulai dinilai secara sekularistis. Perkembangan belakangan ini malahan memperlihatkan bahwa sekularisasi menekankan arti fungsional agama, yaitu sebagai tempat “latihan iman”. Relevansi iman bagi kehidupan kaum muda dewasa ini harus diusahakan dengan mewartakan alternatif peristiwa Yesus Kristus di tengah masyarakat konsumeristik yang melulu menekankan uang dan kenikmatan.
Bahasa pewartaan, baik yang menyangkut pokok iman maupun patokan-patokan moral, ajaran sosial Gereja harus terbuka terhadap diskusi dan ditampilkan sebagai sebuah praksis komunikasi, kalau tidak, sangat disangsikan relevansinya dlam hidup kaum muda. Maka perlu diciptakan dalam lingkup kehidupan Gereja, suasana yang memungkinkan interaksi berdasarkan saling pengertian. Tujuan Gereja bukanlah pada dirinya sendiri maelainkan demin iman, relasi setia dengan Kristus yang terarah kepada maksud dunia. Maksudnya, Gereja berusaha untuk menunjang, mengembangkan dan melaksanakan relasi, interaksi dan komunikasi kaum muda dengan Kristus di dalam situasi dan kondisi nyata.
Salah satu reaksi individu terhadap sekularitas adalah munculnya berbagai macam kelompok self-help. Kelompok-kelompok ini diprakarsai oleh orang-orang yang merasa mempunyai kebersamaan masalah, misalnya saja kelompok para janda, kelompok mantan pasien pecandu narkoba; dll. Mereka merasa dikuatkan satu sama lain karena bertemu dengan teman-teman yang mempunyai masalah yang sama. Tentu kaum muda Gereja sendiri mempunyai kerinduan dapat menciptakan komunitas tersendiri. Wadah seperti PMKRI, Mudika, Misdinarm dan sejenisnya memang nampaknya sudah tidak menjadi daya tarik bagi banyak kaum muda Gereja. Bisa jadi hal ini disebabkan faktor ‘kenikmatan –kesenangan’ yang dimunculkan oleh dunia entertainment. Atau bahkan bisa jadi Gereja pun akan dianggap hanya sebagai salah satu “fasilitas” yang ada dari sekian banyak self-help group dalam masyarakat.
Fenomena semacam ini mungkin sedikit terjawab dengan suatu usaha dari beberapa anggota Gereja yang peduli terhadap dekadensi hidup religius di kalangan kaum muda yang mengalir dalam sekularisasi dunia. Jawaban yang sudah dicoba untuk diusahakan antara lain:
a) Ekaristi Kaum muda: mencoba menanggapi trend hidup orang muda dengan mengakomodasi kerinduan mereka, dengan memberikan ruang kebebasan untuk berekspresi dan menemukan ciri identitas liturgi orang muda. Diharapkan dalam suasana kebersamaan dan kegembiraan mereka dapat merasa bertemu dengan Tuhannya.
b) Penerbitan buku-buku renungan dengan gaya bahasa orang muda (misalnya. Emangnye Gue pikirin, Auk ah Gelap): menciptakan bantuan pandangan sebuah refleksi yang relevan dengan dunia kaum muda. Kendati masih sulit diprosentase minat baca kaum muda Gereja terhadap dunia membaca, namun upaya menarik perhatian terhadap minat baca terutama buku-buku rohani –bukan hanya buku ilmiah – tetap akan selalu diupayakan dengan caranya masing-masing.]

Sebenarnya ada banyak orang muda yang peduli dengan kehidupan iman mereka, namun sering kali ungkapan-ungkapan iman dalam ibadat-ibadat tidak terpahami lagi oleh mereka. Hal yang sama terjadi dalam persoalan-persoalan kaum muda. Sering mereka bergulat dengan persoalan mereka sendiri karena orang-orang terdekat dalam kehidupan mereka; keluarga dan bahkan Gereja bagi mereka menjadi sesuatu yang asing, yang tidak memahami mereka. Mereka tidak menemukan afeksi yang membahagiakan mereka, maka di sanalah seharusnya Gereja membantu memenuhi kerinduan mereka untuk tidak menjadi teralienasi dengan dunia rohani mereka sehingga mereka pun menemukan keselamatan yang sama.
[1] Bdk. Sinode KAJ, 1990, hal 37: KAJ merasa perlu memberi perhatian kepada kaum muda dengan maksud… “agar semangat juang, idealisme, dan kesediaaan mereka untuk berkurban dapat terangsang….”
[2] Yohanes Paulus II: “ Melintasi Ambang pintu Harapan” Jakarta, Obor, 1995, 152-163.
[3] Lih. John Paul II, “ To the Youth of the World: Apostolic Letter on the Occasion of the International Youth Year, March 31, 1985”, dalam The Pope speaks, Vol 30, 1985
[4] Pembahasan didasarkan pada ---------,”Dokumen Sidang-sidang federasi Konferensi Para Uskup Asia 1970-1991,”LWI, Jakarta, 1995, hal 22-26 Dan Gomez, Filipe,”The FABC and youth,” dalam East Asian Pastoral Review, no 1 vol XXII hal 1985
[5] Lih. Dokumen FABC 1, hal 180
[6] Lih. Dokumen FABC 1, hal 305 - 307
[7] Lih, Pedoman Gereja, hal 28-31
[8] Lih. KWI,”Laporan tentan Gereja Katolik Indonesia,” 1988-1996’, spektrum, no 1, vol. XXV 1997, hal 20-21, 68-69.
[9] Lih Soekoto, . Leo,”Surat Gembala Prapaskah 1971-1987” Jakarta, Yayasn Bina diri , 1987, hal 31-35
[10] Lih Soekoto, . Leo,”Surat Gembala untuk Kaum Muda, 1986, Jakarta
[11] Angka 269 tersebut berarti 2,9 % dari keseluruhannya.
[12] Keputusan,”Dana Pembinaan Generasi Muda” ini diumumkan oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ pada 11 Oktober 1995