Kamis, 26 Maret 2009

film Robinso Crussoe

Novel Yang Difilmkan
Film Robinson Crusoe diangkat dari sebuah novel yang dikarang oleh Daniel Defou. Novel ini dipublikasikan untuk pertama kalinya pada tahun 1718. Kadang-kadang novel ini dianggap sebagai novel pertama dalam bahasa Inggris. Buku ini adalah sebuah autobiografi fiksional dengan sebuah judul karakter, seorang inggris yang terdampar di sebuah pulau. Ia menghabiskan waktu di pulau itu selama 28 tahun. Mereka bertemu dengan orang-orang liar, para tawanan dan pemberontak sebelum diselamatkan. Novel ini menampilkan sebuah cerita yang menurut dugaan adalah kejadian faktual, dikenal sebagai sebuah “dokumen palsu”, dan memberikan sebuah kerangka yang realistis pada cerita tersebut.
Sebenarnya, judul lengkap novel tersebut adalah The life and Strange Surprising Adventures of Robinson Crusoe: who live Eight and Twenty years, all alone in an un-inhabited Island on the coast of America, near the Mouth of the Great River of Oroonoque; Having been cas on Shore by Shipwreck, wherein all the Men perished but himself. With An Account how he was at last as strangely deliver’d by Pirates. Written by Himself.
Buku ini diterbitkan pada tanggal 25 April 1719. Sambutan positif berlangsung cepat dan meluas. Sebelum akhir tahun tersebut, volume pertama terdiri dari empat volume. Buku tersebut dibaca dalam kalangan yang sangat luas. Novel ini mengalami beberapa kali cetak ulang dan diterjemahkan dalam beberapa bahasa.

Proses Sebuah Film
Sebagai sebuah tampilan audio visual, tentu dapat dipahami bahwa tidak semua detail dalam novel Robinson Crusoe diangkat dalam sebuah film. Ada semacam seleksi untuk dapat membuat gambaran cerita novel dan imaginasi seorang sutradara menjadi sebuah pesan yang dapat ditangkap oleh penonton.
Menurut JP Hunter, Robinson bukanlah seorang pahlawan melainkan seperti setiap manusia lainnya. Ia mulai sebagai seorang pengembara yang tanpa tujuan di laut yang luas yang tak pernah dipahaminya. Namun pengembaraannya berakhir pada sebuah peziarahan, melintasi puncak gunung dan berahkir pada sebuah tanah terjanji. Dalam buku tersebut dikisahkan bagaimana Crusoe menjadi dekat dengan Tuhan, tidak dengan mendengarkan kotbah-kotbah di gereja tetapi dengan menggunakan waktunya sendirian di alam ditemani dan hanya membaca sebuah Injil. Bisa jadi kisah ini juga merupakan kritik terhadap kemapanan agama kristiani.
Menjadi sebuah pertanyaan adalah sejauh manakah seorang sutradara mempunyai kebebasan untuk memilih dan menekankan pesan-pesan khusus sebuah cerita menjadi pesannya kepada penonton. Apakah seorang stradara mempunyai hak untuk tidak tunduk secara ketat dengan novel yang dijadikan alasan dasar pembuatan film?

Film Robinson Crusoe dan buku The subject of Jawa
Pemfilman Robinson Crusoe tentu dipengaruhi oleh betapa larisnya novel ini. Selain isinya menarik, novel ini juga mengandung pesan yang bersifat religius dan budaya. Sang pengarang (Daniel Dofoe) adalah seorang moralis puritan. Selain menulis novel ini, ia juga menulis buku-buku seperti The New Family Instructor (1727) dan Religious Courtship (1722) yang merupakan buku petunjuk untuk menjadi seorang kristiani yang teguh imannya. Memang pesan moral ini juga masih nampak dalam film terutama terlihat dari keteguhan Crusoe untuk mempertobatkan Friday. Tentu saja bisa diperkirakan bahwa tidak semua yang tertulis dalam novel bisa dimasukkan ke dalam film yang dimungkinkan juga karena pertimbangan khusus sang sutradara untuk memberikan pesan khususnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh John Pemberton yang menulis buku tentang “Jawa” on the subject of “Java”. Bermula dari keinginannya untuk melihat relasi antara politik dan budaya dalam era Orde Baru (hlm 3), Ia justeru kemudian tertarik mengamati fenomena kampanye tahun 1982 di Solo (hlm 4-12). Dalam pertaliannya dengan studi pustaka tulisan-tulisan pertengahan abad 18 yang dilakukan di keraton Surakarta, ia melihat adanya suatu pengaruh budaya Jawa (yang sebenarnya konsep “Jawa” masih dicari definisinya) dalam sistem politik Orde Baru di bawah Soeharto. Kata “tradisional” menjadi salah satu kata kunci untuk melihat pengaruh budaya tersebut dalam sistem politik Orde baru. Misalnya ia memusatkan perhatiannya pada “cara-cara yang berefek pada kenampakan ketenangan dan ketertiban sejak perebutan kekuasaan oleh Soeharto dari suatu politik yang penuh teka-teki yang dilandasi oleh rujukan eksplisit rutin pada “nilai-nilai tradisional “Warisan kebudayaan” (hlm 13).
Di tangan orang lain, sebuah karya sastra atau tulisan sejarah juga bisa dimaknai secara lain. Kiranya hal ini terjadi dalam pengangkatan ke sebuah film dari sebuah novel “Robinson Crusoe” dan juga penelitian John Pemberton atas pengamatan situasi politik Indonesia tahun 1982 dan studi pustaka tulisan abad 18 di kraton Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar