Sabtu, 28 Maret 2009

Ken Desi

Ken Desi

Angin bulan purnamakala
meniup di sela-sela paha walawala.
Angin belalang dengan sungutnya
menebarkan harum cumbu cumbanarasa
di balik kainnya yang berceplok-ceplok darah.
Sudah tersibak pahanya yang indah
cahaya bersinar dari sela-selanya
cahaya manitra berkilatan dengan bajradhara
menyemburkan sejuta petaka.

Kebo Ijo, kau telah mati kena petakanya
ditusuk pusaka cumbana
ketika langit hijau dengan harum asmaranya.
Kebo Ijo, kau telah menjelma
menjadi secarik busana
hijau daun warnanya
menutupi paha-paha jelita.

Kebo Ijo, sekarang telah menjadi ijo.
Ijo yang membawa petaka bagi para lelaki.
Maka lelaki-lelaki itu pun meneriakinya “ijo”
Seperti dulu ketika Kebo Ijo dicacimaki:
“Kebo Ijo, kaulah yang membunuh raja”

“Ijo”, makin keras lelaki-lelaki itu berteriak
tak sabar lagi mereka
ingin segera menelanjangi dan menikmatinya.

Ya, dia adalah Ken Dedes yang hidup kembali
lihatlah buah dadanya menyimpan purnamakala
pahanya indah serupa kaki wala-wala
dari sela-sela secarik busananya
terpancar hijau yang mempesona.

-Ya, dia adalah Ken Dedes, permasyuri Singasari
-Bukan, Ken Dedes adalah orkes yang mengiringi
aku menyanyi. Aku bukan Ken Dedes. Aku Ken Desi.
-Tidak, kau adalah Ken Dedes. Lihatlah, hanya secarik
busanamu, dan dari sela-sela pahamu bersinar
cahaya hijau seperti cahaya permasyuri Singsasari.

Ijo. Ijo, ijo…..
Lelaki-lelaki itu berteriak
terbenam dalam cumbu cumbana yang nikmat
Malam pun hangat bertetesan keringat
dan bulan indah membulat
berendakan paha Ken Desi yang telanjang bulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar