Kamis, 26 Maret 2009

kabut dan tanah basah

Bab I Tingkat Pertama: Pemurnian Budi – Kerinduan Terdalam
“Setipa manusia dilahirkan dengan kekuatan ilahi di dalam dirinya. Tetapi terlalu banyak orang disilaukan oleh cahaya ilahi itu dan ingin menguasainya untuk dirinya sendiri. Mereka membuat benteng-benteng berkubu untuk memaksa kekuatan ilahi itu supaya tidak meninggalkan dirinya dan menyisakan kekosongan yang menyakitkan. Bukan kekosongan itu yang menghancurkan, tetapi ketakutannya sendiri yang membelenggu.” (16)
“Manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk memilih. Di tidak bisa memilih hidup atau mati seturut kehendaknya sendiri. Namun dia bisa memilih bagaimana dia akan hidup, dan bagaimana dia akan mati.” (16)
Padang Buana adalah pantulan dari apa yang ada di dalam jiwamu; yang merindukan kepastian. … Kepastian tidak berada di luar sana. Adalah pilihan jiwa untuk percaya. Buahnya adalah harapan yang melahirkan kerinduan untuk terus mencari (31).
Angin Selaksa adalah mimpi dan kerinduan jiwa. Ia muncul ketika jiwa merindukan sesuatu yang lama hilang dari dirinya, sesuatu yang amat berarti baginya, tetapi di tidak memilikinya lagi. Seperti anak kecil yang pemalu, dia akan berlari kalau kamu berlari. Dia kan berhenti kalau kami berhenti mencari. (25) Dialah yang mampu memberi petujuk ke mana jiwa mest melangkah. (Awal perjalanan adalah untuk membiarkan kerinduan jiwa akan makan mengarahkan seluruh kesadaran jiwa – 13)
Alam memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dirinya. Bersama dengan berjalannya waktu, luka-luka lama akan mengering dan menjadi dasar suatu pertumbuhan yang siap menghadapai badai baru yang akan datang. (30)
Dua musuh jiwa: kebosanan dan kesombongan. Kebosanan akan menarik jiwa dari segala keterlibatan dan mengurungnya dengan jerat yang sulit ditembus. Sebaliknya, kesombongan menutupi mata jiwa sehingga jiwa tidak bisa lagi mengenali siapa dirinya sesungguhnya. (31) Mereka menggunakan racun yang sama, yakni yang membuat jiwa beranggapan bahwa dirinya adalah yang terpentind dari segalanya. (32)
Cinta adalah pantulan jiwa yang ketiga. Kalau engkau bisa melahirkannya, dia tidak hanya akan bisa melindungimu dari segala musuh jiwa, tetapi dia juga bisa menggerakkan tebing padas untuk membawa engkau ke tempat tujuan hidupmu. (33)

Bab II Tingkat kedua: Pemurnian Rasa
Jiwa selalu berada dalam hubungan dengan yang lainnya. Dalam hubungan itulah jiwa mengalami sisi terang dan bayang-bayangnya, antara mimpi dan kenyataan, antara dendam dan pengampunan, antara cinta dan kehilangan. Semua yang dirasakan jiwa sebagai letupan-letupan rasa hanyalah sebagian dari dirinya. Jiwa lebih besar dari perasaannya. (43)
Doa adalah kekuatan terakhir yang terlahir dari jiwa yang merasa tidak berdaya. Dan yang terakhir bisa menjadi yang utama. Sebuah hati yang berdoa dengan ketulusan bak setetes embun pagi memiliki kekuatan untuk menurunkan berjuta bala tentara surga. (47)
Dendam di hatimu membuat dirimu tidak manusiawi lagi. Ketidakadilah tidak bisa diperangi dengan kemarahan. Kalau itu yang terjadi, hanya akan tersisa sebuah lubang besar di hati manusia. Seperti sebuah tempayan tak berdasar, betapa pun banyaknya air dituangkan, ahnaya akan lewat begitu saja, dan menyisakan kekeringan yang menyakitkan. (50)
Cinda dan benci tumbuh dari akar yang sama, hanya bermuara pada buah yang berbeda. Cinta mengundang orang untuk keluar dari dirinya, sedang benci melumpuhkan orang dari dalam dirinya karena tidak menerima keterbatasan jiwanya. (52)
Apalah arti kehormatan? Ia hanya sekadar cara manusia menutupi ketakutannya. (52)
Setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk memilih. Dia bisa memilih untuk mengakhiri dendam dan kemarahannya. Ada lebih banyak hal dalam kehidupan yang lebih menarik untuk digeluti. Namun, ketika manusia membiarkan luka hatinya itu terlalu lama terbuka dan tidak cepat menyembuhkannya, dia akan kehilangan kemampuannya untuk mengadakan pilihan. Dia hanya akan menjadi budak dari pusaran air yang dibuatnya sendiri. (57)

Bab III Tingkat Ketiga: Pemurnian Hati
Kebenaran akan menunjukkan keterbatasan jiwa, namun sekaligus memerdekakannya, apabila jiwa punya keberanian untuk menerima. Kerendahan hati adalah keutamaan sejati, menyadari bahwa selalu ada bagian dari dirinya yang tidak mampu dimengerti dan dikuasainya. (69)
Cinta bukan sesuatu yang menghendaki kenikmatan untuk dirinya sendiri. Cinta tidak ingin memiliki, tetapi melepas dan membebaskan. Cinta tidak ingin menguasai, tetapi membiarkan diri terbuka pada sesuatu yang lebih besar dari perasaan cinta itu sendiri. (70)
Manusia mengalami keterpecahan dalam dirinya yang tidak mudah dimengerti olehnya. Yang tidak dikehendaki dilakukannya, yang dikehendaki tidak dilakukannya. Ketika manusia merasa dia mengenal dirinya, pada saat yang sama dia juga tidak tahu lagi siapa dirinya sesungguhnya. (94)
Kehidupan memberinya kesempatan untuk berjumpa dengan keindahan bak merekahnya sekuntum bunga. Kehidupan pula pula yang menunjukkan kepadanya pahitnya sebuah keterbatasan. (95)
Perasaan cinta juga tergantung pada keputusannya. Dia bisa membuka hati dan menumbuhkan cinta itu dalamhati dan membiarkan diri disapu oleh gelombang rasa. Namun, dia bisa juga membiarkan benih itu tetap sebagai kuncup yang tidak perlu dipetik dan dijadikan miliknya. (97)
Ketika Wulandari mengubah cinta menjadi rasa hormat, dia tidak lagi merasa kehilangan. Cinta yang tumbah di hatinya menjadi semakin dalam. Tidak ada lagi yang mampu menghapus cinta itu dari hatinya. (98)

Tingkat keempat: Keheningan Jiwa
Hening berarti kosong. Kosong berarti penuh makna. Kita membentuk tanah liat menjadi periuk, mangkok dan gelas; akan tetapi maknanya ditemukan dalam kekosongan ruang yang tercipta. Jiwa menjadi bening ketika melepaskan egonya dan membiarkan hidupnya diarahkan oleh makna.
Panca inderamu adalah jendela jiwa. Latihlah telingamu sehingga engkau mampu membedakan mana suara yang muncul dari dalam jiwamu, mana suara yang datang dari kejauhan masa lampaumu, dan mana suara-suara yang memanggilnya ke masa depan. Kenalilah suara yang datang dari keabadian, suatu suara yang ketika bersabda, alam semesta tercipta. Itulah Sabda yang melahirkan jiwanya ke dunia. …Berusahalah selalu melihat makna di balik apa yang kamu lihat. (102)
Manusia bisa menciptakan kenyataan sesuai dengan kekuatan pikiran dan kehendaknya. Namun, itu tidak akan membawanya ke tujuan perjalanan jiwanya. Manusia mesti berlatih untuk mendengarkan dan menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Sang Pencipta Agung. Itulah satu-satunya jalan untuk menyatukan beragam keinginan yang muncul dari kedalaman jiwanya. Manusia dibatasi oleh keinderaannya sehingga tidak bisa melihat kerinduan jiwanya dalam satu perspektif pandangan yang utuh. Manusia mengalami terpecah dan terbagi-bagi dalam berbagai macam pengalaman yang seolah tidak berkaitan satu dengan yang lainnya. Hanya dengan memusatkan pandangan pada kehendak Sang Pencipta barulah dia bisa melihat benang sutra yang menguntai pengalaman demi pengalamannya. (103)
Semakin dia selaras dengan kehendak Sang Pencipta, semakin dia ikut terlibat di dalam membentuk alam semesta. Tidak perlu dia mencari lagi, karena apa yang harus dilakukan sudah hadir dengan sendirinya di depan mata; yang harus dikatakan sudah mengalir dengan sendirinya dari mulutnya. (104)
Seorang guru yang baik akan senang kalu muridnya maju berkembang melebihi dirinya. (104)
Kesadaran akan keterbatasa tidak melumpuhkan, tetapi justru membuka pada kemungkinan-kemungkinan yang dulu tidak dilihat. Dengan memberi, dia tidak kehilangan, manun justru semakin diperkaya. (105)
Keseimbangan itu penting untuk menjaga kesehatan jiwa. … Keberanian untuk menentukan sikap dan tidak mengikuti arus adalah modal utam untuk menjadi seimbang. … Yang perlu diperhatikan adalah waktu atara gerakan dan reaksi yang muncul. Kalau kamu tidak memperhitungkan waktu antara itu, kamu bisa jadi bereaksi terlalu cepat dan malah menjatuhkan kedua tempayan air itu. Waktu antara itu adalah keheningan jiwa. Hanya lewat keheningan, jiwa belajar sabar menunggu. (106)
Hidup tidak hanya untuk memenuhi dahaga jiwa, tetapi untuk menyelesaikan suatu perutusan (108). Di dalam kehidupan ini jiwa hanya perlu untuk belajar mengenal siapa dirinya sesungguhnya, dan dengan itu menemukan untuk apa dia hadir pada tempat dan waktu tertentu ini. (109)
Kita dilahirkan dengan banyak kekurangan. Ada kekurangan yang bisa kita perbaiki sendiri. Ada pula kekuarangan yang sebaiknya diserahkan pada orang lain untuk membantu memperbaiki. Dan ada pula kekurangan yang tidak akan pernah selesai sampai akhir hidup kita. (110)
Apa kesempuranaan itu? Sempurna tidak berarti hidup putih bersih tanpa noda. Itu bukan manusia namanya. Tidak ada siang tanpa malam. Tidak ada putihnya awan tanpa ada langit biru yang menyatakannya. Kesempurnaan itu suatu keutuhan. Utuh berarti semua unsur ada, ya kelebihan, ya kekurangan. Tinggal bagaimana kita menjalinnya dalam kehidupan sehingga kelemahan menjadi kesempatan untuk menampilkan kekuatan, dan kekuatan menjadi kewaspadaan bahwa segala sesuatunya hanya bersifat sementara. (111)
Lalu apa gunanya berpuasa dan bermati raga untuk mengalahkan kelemahan-kelemahan guna mencapai keutamaan?
Keutamaan manusia adalah anugerah dewata, bukan hasil kerja keras kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah menyiapkan hidup supaya ketika dewata berkenan memberikan anugerahnya, jiwa kita sudah siap menerimanya. Itulah arti puasa dan mati raga, sama artinya dengan doa. Doa tidak memaksa, namun memohon dengan penuh percaya. Orang yang mengejar keutamaan atas dasar melulu usahanya akan berakhir dengan kehilangan dirinya. Dia akan menjadi sombong, mengira bahwa dirinyalah yang berjasa. Dia akan hidup dalam bayang-bayang sendiri. Ketika kegelapan menyelimutinya, dia akan kehilangan tempat berpijak karena bayang-bayang menghilang. (112)
Kesakatian tertinggi yang biasa dicapai manusia adalh ketika hatinya dibakar oleh cinta kasih yang membara. Tidak perlu menahannya. Tenaga suci itu akan menemukan jalannya sendiri untuk membersihkan tubuh dan jiwamu.
Sebuah langkah besar selalu diawali dengan langkah-langkah kecil. Tugas kita adalah untuk mulai mengambil langkah-langkah kecil. Dewata yang akan mengaturnya untuk menjadi sebuah langkah besar. (115)
Hidup ini adalah permainan peran. Namun, sekali kamu memilih memainkan sebuah peran tertentu, kamu harus memainkannya sepenuhnya, seolah-olah itulah satu-satunya hidupmu. Kamu harus hidup mengikuti semua aturan main yang termuat pada peran itu. Kalau tidak begitu, kami hanya akan menjadi penonton. Memang lebih mudah menjadi penonton, namun hal itu tidak berguna bagi kemajuan jiwa.

Tingkat Kelima: Kebebasan Batin
Kemerdekaan batin tercapai ketika jiwa mampu berkata: “Aku bebas dari rasa dendam, penderitaan, kemarahan, dan rasa bersalah. Aku bebas dari rasa diriku adalah yang terpenting. Aku bebas dari rasa mengasihi diri. Aku bisa menertawakan diriku sendiri. Aku melihat kejenakaan kehidupan.” (119)
Perasaan datang dan pergi tanpa dikehendaki, sedang kebahagiaan datang dan pergi tanpa diketahui. (131)
Yang didambakan setiap lelaki adalah sepasang sinar mata wanita yang mengatakan bahwa dirinya sungguh lelaki. Bisakah dia menemukan kesejatian dirinya tnap seorang wanita? Mengapa seorang lelaki ditakdirkan untuk takluk di bawah kerling seorang wanita, betapa pun tegar dirinya? (144) “Aku tidak membutuhkan seorang wanita untuk menemukan jati diriku” (145)

Tingkat Keenam: Pengorbanan Diri – Kedamaian Sejati
Pengorbanan diri karena cinta adalah jalan jiwa untuk menemukan kedamaian sejati. Jiwa tidak akan kehilangan apa-apa, akan tetapi justru mulai melihat kehadiran Allah dalam segala sesuatu. Jiwa menari dengan irama alam semesta. Dia tidak lagi berada di dalam dunia. Dunialah yang berada dalam dirinya.
Senjata paling sakti adalah hati manusia yang dibakar oleh kekuatan kehendaknya. (159)
Kebahagiaan kita terletak pada kerinduan hati kita yang terdalam untuk memenuhi tujuan kita diciptakan di dunia ini. (160)
Hidup lebih besar dari sekadar perasaan jatuh cinta pada seseorang. (161)
Cinta yang ditahan untuk dinikmati sendiri seupama anak panah yang berhenti pada busurnya. Begitu dilepas, anak panah itu akan melesat menemukan jalannya sendiri. (162)

Tingkat Ketujuh: Pencerahan
Inilah tingkat tertinggi dari kesadaran jiwa, ketika jiwa bersatu dengan Yang Ilahi. Ketika mata jiwa dibuka dan menemukan bahwa dirinya mengatasi kehidupan, maut dan kematian, karena dirinya adalah roh murni, dari awal dan akan senantiasa demikian.
Manusia tumbuh menjadi dirinya dengan mengenal rasa sakit dan rasa nikmat. Keduanya dibutuhkan untuk perlindungan diri dan kelangsungan hidupnya. Kalau dia tidak mengenal rasa sakit, dia bisa saja mati diri karena tidak tahu artinya bahaya. Kalau tidak mengenal rasa nikmat, dia akan hanya menjadi seperti sebuah arca dingin. Hidupnya bergerak dari keinginan untuk menghindari rasa sakit dan menemukan kenikmatan kehidupan. Tetapi pengenalan itu baru tahap awal proses dirinya menjadi manusia. Dia harus melewati tahap awal itu dan memasuki dunia makna. Hidupnya lalu digerakkan oleh kerinduan untuk mencari makna keberadaannya di dunia. Tetapi tahap itu pun bukan yang terakhir. Kemanusiaannya memuncak pada tahap penyerahan diri pada Keberadaan yang lebih besar dari dirinya. Di tahap ini da tidak lagi mencari, dia tidak lagi berpikir untuk mencapai sesuatu. Akan tetapi, dia menemukan apa artinya kebebasan batin, apa artinya terbuka bagi segala kemungkinan. (173)
Barangkali sulit bagi orang untuk maju karena adanya risiko dari pertaruhannya. Risiko paling besar adalah ketidakberanian untuk mengambil risiko itu sendiri. Dengan tidak mengambil risiko, dia akan kehilangan kesempatan untuk menjadi dirinya.
Bagaimana kalau dia ternyata gagal?
Pada tahap tertinggi jiwa manusia, dia kan menemukan bahwa dalam setiap kegagalan sudah tersimpan keberhasilan, dalam setiap dosa sudah terkandung rahmat, dalam setiap derita sudah terpancar kemuliaan. (174)
Dia tidak menyesali apa yang telah terjadi. Di hanya merasa bahwa kehidupan telah mempermainkannya secara tidak adil. Dia tidak bisa menghapus pilihan-pilihan yang telah dibuatnya begitu saja untuk mulai lagi dari awal.
Dia mengira bahwa dirinyalah yang mencari Cinta, tertapi ternyata Cinta itu berada dekat dengan dirinya. Bukan dia yang mencari, tetapi Cinta itulah yang menuntunnya untuk menemukannya. Cinta itulah yang mengorbankan dirinya supaya dia bisa menemukan jalan hidupnya. Wulandari mati demi Dewabrata.


Tokoh: Dewabrata, Amba, Rama Bargawa (dendam), bunga Utpala, bunga cinta kasih (obat bagi manusia yang luka oleh dendam dan kebencian), Wulandari (jelmaan Dewi Bumi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar