Kamis, 26 Maret 2009

cloning dan teologi tubuh

CLONING MANUSIA & TEOLOGI TUBUH

Terjemahan bebas dari artikel “ Human Cloning and Theology of the Body” dari Majalah Theology Digest Vol.51, No.3 Fall 2004

Tekanan semakin meningkat untuk memberi lampu hijau pada cloning manusia setidaknya untuk riset biomedis baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Para politisi liberal (baik dari Republikan maupun Demokrat) telah menggabungkan kekuatan dengan perusahaan bioteknologi, figur Hollywood dan media Amerika untuk mencirikan para musuh sebagai para religius konservatif yang berpikiran sempit, sebagai anti ilmu pengetahuan, dan secara ideologi dimotivasi oleh politik ‘pro life’ yang lepas tangan atas penderitaan manusia yang mendalam. Meskipun demikian, pertanyaan yang perlu untuk ditanyakan:” Haruskah kita sekarang dan seterusnya bisa menjalankan riset semacam ini?” Dalam esai ini saya berpendapat “tidak”.

Fisiologi Cloning
Pada saat ini, tipe paling umum dari cloning manusia disebut ‘somatic cell nuclear transfer’ (transfer inti sel somatis). Ini berawal dengan sebuah gamete (sebuah oocyte atau telur ) wanita yang dipanen dari sebuah donor. Dalam nukleus oocyte tersebut terdapat setengah dari material genetis (DNA) yang diperlukan bagi perkembangan manusia. Dalam reproduksi seksual setengahnya lagi disumbang saat pembuahan (fertilization) oleh pria (sel sperma) yang terdiri dari setengah dari materi genetis yang diperlukan untuk pembuahan (conception) alamiah dan pertumbuhan sebuah embrio. Namun, Cloning adalah reproduksi aseksual; tidak diperlukan sperma. Nukleus dari oocyte dipindahkan, dan nukleus dari sebuah sel somatis (sel apa saja yang lain dari sel oocyte atau sperma) ditransfer pada enucleated oocyte. Adalah penting untuk memahami bahwa sel somatis dapat datang dari donor apapun dan sebenarnya terdiri dari sebuah komplemen genetis lengkap dari donor. Dengan demikian, material yang ditransfer pada oocyte tidak terkait dengan perempuan yang mendonasikan oocyte. Sebaliknya, komposisi genetis adalah identik dengan yang mendonorkan sel somatis (yang bisa seorang lelaki, perempuan, atau teoritis bahkan non human).
Pada cloning manusia, seandainya sel somatis yang ditransfer berhasil, entitas yang dihasilkan tidak lagi sebuah oocyte tetapi sebuah zygote manusia, sebuah fetus dalam tahapannya yang paling awal. Dengan stimulus dari impulse eletrik atau dengan racikan kimiawi khusus, zygote tersebut akan secara aktif membelah dan didorong pada proses dinamis menuju kematangan dan perkembangan manusiawi.

Beberapa tujuan cloning manusia
Tujuan dari cloning akan menjadi subjek dari kehendak para kloner. Cloning reproduksi manusia (Human reproductive cloning), sebagaimana paling populer disebut, membutuhkan penanaman embrio hidup pada uterus perempuan dan akan menghasilkan seorang anak pada saatnya.
Yang selama ini disebut cloning terapetis (therapeutic cloning) akan melibatkan pembiakan embrio in vitro (dalam laboratorium), kemudian menggunakannya dengan apa yang disebut sebagai tujuan therapeutic yang diinginkan kloner. Sampai saat ini, interes utama ‘therapeutic’ (penyembuhan) adalah untuk memanen stem sel embrionik yang matang, sebuah proses yang akan membunuh embrio. Jenis dari cloning ini menarik sebab embrio yang dikloning akan memiliki kode genetis atau ‘genotype nuclear’ yang identik dengan pendonor sel somatis, yang kemungkinan adalah pasien klinis yang membutuhkan, sebagai contoh, sebuah organ yang ditransplasikan. Sel-sel cabang dan jaringan otot didapat dan disitulah akan didapat derajat kesesuaian yang amat tinggi yang memungkinkan pengapkiran jaringan otot.
Mengenai istilah ‘therapeutic’ (penyembuhan), istilah itu menyatakan tak langsung bahwa prosedur atau tata cara dalam bertanya (procedure in question) akan sangat membantu subjek dari prosedur tersebut. Tapi, dalam cloning therapeutis, tak ada keuntungan yang diharapkan oleh subjek; faktanya prosedur itu bisa mematikan bagi subjeknya. Oleh karena itu, adalah penting untuk memakai bahasa yang tidak berisi bias-bias untuk kepentingan (in favor) sebuah kesimpulan etis yang tak sembrono (unscrutinized). Untuk mendapat kejelasan, saya akan memakai terminologi yang digunakan oleh Konsili President mengenai Bioetika dalam laporannya tahun 2002 mengenai cloning manusia, yang membedakan antara cloning untuk menghasilkan anak dan cloning untuk riset biomedis.

Cloning untuk memproduksi anak
Proses cloning untuk menghasilkan anak pertama-tama dan terutama adalah soal control (a matter of control). Banyak motif pokok yang mendasari hasrat untuk cloning yang menghasilkan anak: menduplikat individu dengan pengecualian untuk beberapa tabiat atau watak; mereproduksi gambaran seorang yang terkasih yang sudah mati; memproduksi pribadi yang kebal dari penyakit genetis; memilih seorang dengan alasan kosmetis seperti penampilan sex atau fisik….atau mengembangkan fetus yang digunakan sebagai sumber onderdil pengganti tubuh (spare body parts). Motif-motif yang lebih sinistis- dimana kita tak punya alasan untuk mengaitkannya dengan pembela kloning saat ini tapi yang akan mendatangkan sejarah sedih kejahatan manusia, harus tidak boleh dilepaskan dari kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan kita- termasuk didalamnya memproduksi manusia untuk eksploitasi seksual dan ekonomis, untuk maksud-maksud militer, atau dalam interes berbagai macam bentuk perbudakan total.
Segala motif dari cloning manusia pada umumnya memuat kehendak satu generasi untuk mencoba mengontrol generasi yang lain. Sementara ini mungkin juga biasanya disebut perencanaan keluarga (family planing), perbedaan yang paling jelas dan takterelakan adalah satu tingkat. Memutuskan seberapa banyak anak yang hendak dipunyai, dan kapan, dan dalam lingkungan macam apa, tidaklah menyentuh kodrat mendasar dari seorang anak. Tapi dalam cloning, identitas biologis yang dimiliki yang dikloning dikontrol. Identitas tersebut ditentukan oleh manusia yang lain, tidak diterima sebagai pemberian atau rahmat dari Tuhan sebagai keunikan yang tak terukur sebagai percampuran kualitas genetis dari kedua orang tua. Dan hal itu ditentukan bukan untuk kebaikan dari yang dikloning melainkan untuk menyokong interes dari pelaku kloning (kloner)- sebuah percobaan yang mengejutkan dari kehendak mendominasi seorang terhadap yang lain.
Supaya jelas, kontrol tersebut hanya mengenai identitas genetis, tidak terhadap keseluruhan kemanusian dari seorang pribadi, yang merupakan kesatuan sebuah tubuh material dan sebuah jiwa yang immaterial. Tapi, identitas biologis adalah sangat esensial (mendasar) bagi identitas manusia. Kendati kecil tapi identitas biologis lebih mendasar, lebih personal, dan lebih ‘self-defining’ sebagai penentu diri dibanding identitas ketubuhan (bodily identity) seseorang. Dan proses alamiah prokreasi manusia memiliki identitas biologis yang unik dan tak bisa diulang (unique and unreapeatable). Dalam kasus kembar (monozygote) identik, identitas genetis itu diterima oleh dua subjek biologis yang saling membagikan karakteristik masing-masing, tapi juga oleh mereka yang masih menerima identitasnya sebagai anugrah atau pemberian dari Tuhan. Sebab kekinian mereka yang relatif atas asal muasal mereka, orang yang kembar masih bebas untuk mencipta sejarah mereka masing-masing, meskipun begitu semakin dekat kemiripannya satu sama lain dibanding saudara yang tidak kembar (non-twinned siblings).
Pelaku kloning atau kloner, kontrasnya, menentukan identitas dari seseorang yang telah ada atau eksis, seseorang yang telah memiliki sebuah sejarah. Ini adalah pelanggaran sebagai apa yang menurut kacamata saya sebagai hak alamiah-kodrati (natural right) dari pribadi manusia, yakni, hak akan identitas yang subjektif. Kloning adalah bentuk radikal dari kekerasan tak adil terhadap subjektivitas pribadi dari yang dikloning. Ini juga pelanggaran atas prinsip mendasar dari kesataraan manusia sebab yang dikloning (the clone) dalam asal muasalnya ‘in her origins’ terpaku pada relasi dengan pelaku kloning (the cloner) yang tidak berlandaskan kondisi yang kurang lebih setara (equal) melainkan dalam relasi yang dihasilkan oleh pembuatnya. Identitas biologis yang kita terima lewat proses yang kelihatannya kebetulan dalam pembuahan adalah sebuah identitas yang alurnya terbentang melampaui horizon temporal. Doktrin Kristen tentang kebangkitan badan menerangi realitas bahwa tubuh yang kita miliki saat ini akan secara langsung terkait dengan identitas ketubuhan yang kita miliki dalam keabadian.
Kloning juga akan membuat generasi aseksual manusia. Seorang lelaki dan seorang perempuan tidak lagi dibutuhkan untuk menghadirkan kehidupan baru; perempuan dibutuhkan sebagai donor telur, dan lelaki tidak sama sekali. Pertanyaan mengenai keibuan menjadi tidak keruan: apakah yang menjadi ibu adalah pendonor telur, atau pendonor sel somatis, atau perempuan yang mengandungnya? Dan gambaran paternitas biologis tidak lagi relevan. Kloning menyimpang dari struktur relasional yang mendasar dari pribadi manusia. Yang dikloning (the clone) mungkin gambaran nyata dari ibunya, anak perempuan dari neneknya, atau kembaran dari seorang bayi yang diaborsi. ‘In vitro’ telah mendatangkan kebingungan bagi ikatan hubungan kekeluargaan, tetapi kloning malah membuatnya semakin tanpa arti.
Lebih lanjut, kloning mengacaukan dimensi perkawinan (conjugal) dari prokreasi manusia dalam logika cinta manusia dan pemberian diri menuju proyek impersonal riset biologis di dalam logika produksi-industri. ( Hendaklah jangan memperbodoh diri kita; cloning akan menjadi sebuah industri dengan implikasi ekonomis yang luar biasa. ) Apakah disana ada realitas alamiah yang lebih intim, sublim, dan bersifat konsekuensional- yang sungguh lebih manusiawi-dibanding mekarnya cinta perkawinan menuju merekahnya kehidupan baru? Di dalam cloning, ikatan antara cinta perkawinan dan prokreasi diceraiberaikan. Ini tidak untuk mengatakan bahwa pelaku kloning (the cloner) tidak akan secara pribadi berminat, atau memiliki komitmen untuk itu, atau secara emosional mencurahkan diri pada produk dari prosedur. Tetapi, intensitas sentimen diseputar proses seharusnya tidak menggelapkan kenyataan ini yakni: proses tersebut bukanlah memperanakkan (begetting), melainkan rancang bangun (manufacturing).
Kedatangan reproduksi manusia yang aseksual menghantam jantung antropologi Kristiani dengan membuat sifat komplementer dari masing-masing jenis kelamin menjadi tak relevan (irelevan). Wahyu Kristiani mengajarkan bahwa Tuhan meciptakan kemanusiaan “laki-laki dan perempuan”, dan bukan laki-laki sendiri atau perempuan sendiri. Laki-laki dan perempuan menghadirkan, dalam integritas pribadinya, dua tipe yang berbeda, dua wujud (embodiments) yang unik dan komplementer dari makhluk rohani yang kita sebut pribadi manusia, masing-masing memiliki sinyifikansinya sendiri bagi diri sendiri dan orang lain seturut rencana ilahi. Dengan kata lain, itu adalah bagian dari rencana Tuhan bahwa terdapat dua jenis kelamin; Tuhan menghendaki dua macam jenis kelamin. Kita Kejadian I, melalui narasi penciptaan memberikan dasar bagi pembedaan ini: Tuhan memerintahkan untuk “berkembang dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan kuasailah” ini mengatakan pada kita bahwa pembedaan seksual (sexual differentiation) dan seksual yang melengkapi-komplementer (sexual complementary) terkait dengan prokreasi. Dengan demikian, iman Kristiani mendukung apa yang digariskan oleh hukum alam, yakni, hubungan seksual perkawinan (marital sexual intercourse) adalah konteks yang paling tepat untuk menghadirkan kehidupan baru.

Cloning untuk riset biomedis
Banyak, jika tidak sebagian besar, mereka yang membela cloning manusia mempertahankannya bukan untuk maksud menghasilkan anak tetapi untuk riset biomedis. Cloning bagi riset dapat diabsahkan, mereka bertahan, sebab kegunaannya dalam penyembuhan penyakit dan membebaskan penderitaan manusia. Sayangnya, kata mereka, bahwa embrio manusia akan dihancurkan dalam proses tersebut, tetapi konsekuensi yang tidak menguntungkan ini diabsahkan dengan hasil-hasil yang menjanjikan.
Pertanyaan etis yang menentukan adalah, apakah yang menjadi kodrat dan identitas dari embrio yang dikloning? Apakah itu sebuah kehidupan manusia dan oleh karenanya sebuah makhluk manusiawi yang utuh? Ataukah itu sebatas pra atau potensi hidup manusia, sesuatu yang akan menjadi tetapi belum sebagai anggota dari keluarga manusia ( sebuah gambaran yang oleh para pembela eksperimen penghancuran embrio secara rutin dinyatakan )? Seandainya itu hanyalah pra manusia, kemudian eksperimen mematikan atasnya, karena ada alasan yang mendukung, mungkin diabsahkan, karena subjeknya bukanlah sesosok manusia yang hidup. Tetapi seandainya embrio manusia adalah manusia yang hidup, kemudian cloning sederhananya untuk maksud riset berubah menjadi penciptaan yang disengaja dan akan menyertai terjadinya pergesaran dimana hidup manusia hanya melulu untuk keuntungan yang lain. Bagaimana kita menguraikan masalah ini? Kita mulai dengan fakta empiris.
Sebelum memindahkan sel somatis dari nukleus kedalam telur takbernukleus (the enucleated egg); jaringan otot manusia yang dikumpulkan untuk manipulasi jelas bukan individu-individu manusia utuh yang terorganisir secara internal (dari dalam). Tetapi, setelah pemindahan dan stimulasi (rangsangan) pertumbuhan embrionik berhasil, kita berhadapan dengan suatu anggota hidup dari spesies homo sapiens yang terorganisir, meskipun belum matang.
Marilah kita menelaah pernyataan ini. Individu adalah utuh dan mengatur diri (self-organizing), sejauh ini sebagaimana individu dalam dirinya terdapat ‘epigenetic primodia’ (kode genetik yang lengkap dan dinamisme yang yang hidup) perkembangan didalamnya yang terorganisir menuju sebuah anggota spesies yang matang. Ya, individu itu membutuhkan ‘nurture’ (pemeliharaan) dari luar dirinya, tetapi demikian halnya kelahiran baru (newborn), yang lemah (infirm) dan yang matang. Sangatlah bisa diterima bawasannya setiap orang, dalam setiap tahapan pertumbuhannya, membutuhkan ‘nurture’ (pemeliharaan) dari luar demi sehatnya pertumbuhan dan perawatan manusia. Embrio yang dikloning adalah hidup (sebagai lawan dari mati-atau terus terang-belum hidup) sejauh ia menuju eksistensi sebagai sebuah entitas dengan kenyataan yang terus berkembang, dengan sebuah sejarah, yang mengikutsertakan pertumbuhan yang alamiah, teroganisir, bergerak sendiri (self-moving) menuju kematangan yang penuh.
Apa yang bisa kita buat dengan menyebut embrio hanyalah kehidupan pra manusia dan dengan begitu bisa menyakal haknya yang penuh sebagai manusia? Sebagian menanggapai bahwa sampai 14 hari- awal dari perkembangan garis primitif- monozygot yang kembar (entah tiga, empat, dst.) tidak lagi bisa muncul; oleh karena itu, katanya sebelum tanggal tersebut embrio belumlah sebuah kesatuan manusia yang utuh, karena makhluk hidup yang identik dengan keadaannya mendatang beserta sebuah personalitas yang berkembang belum lagi muncul. Jelaslah bahwa ini membuktikan bahwa sebelum hari ke 14 kita tidak berhadapan dengan keutuhan dua atau lebih, manusia yang teroganisir. Namun, hal itu tidak serta merta menandaskan bahwa sebelum hari ke 14 kita tidak berbicara mengenai nasib dari seluruh idividu manusia.
Dan kita punya alasan yang baik untuk menyimpulkan bahwa kita hanya berhubungan dengan sebuah hidup manusia yang penuh. Tidak ada momen (saat) yang terpilah dan khusus atau bahkan serangkaian peristiwa setelah organisme kecil menjadi nyata atau eksis, yang dapat digagas sebagai awal mula sebuah kehidupan yang baru. Jika kita mengatakan bahwa organisme berkembang menuju kemanusiaan setelah beberapa waktu organisme itu menjadi eksis atau berada, lalu apa halnya sebelum titik tersebut? Itu bukanlah bagian dari tubuh yang lain, karena itu adalah sebuah oocyte atau sel somatis. Itu bukan pula asal-usul yang sedang menunggu untuk menjadi anggota hidup dari spesies, karena sedang dalam tahapan zygote. Organisme itu sedang tidak menunggu beberapa kontribusi essensial/mendasar bagi perkembangannya dari luar dirinya, karena sejak mulanya organisme itu terdiri dari ‘epigenetic primodia’ bagi perkembang diri menuju kedewasaan. Keduanya baik sebelum dan setelah hari ke-14, cara dan arah bagi kematangannya ditentukan oleh materi genetik yang ada didalamnya, dan bukan oleh penyebaban ekstrinsik (luaran). Lalu, oleh karena itu, apa yang menjadi penyebab kemunculannya menuju humanitas (kemanusiaan)?
Lebih lanjut, bukti embriologis menunjukkan bahwa sel-sel embrionik sebelum hari 14 tidak berfungsi sebagai kumpulan sel yang takberhubungan (unrelated) dan tak saling berhubungan (non communicating) tapi terlebih sebagai sebuah organisme tunggal. Mereka berinteraksi, berkomunikasi, dan dengan demikian dikekang (dikendalikan) dari perkembangan yang otonom. Memang betul bahwa kadangkala suatu sel yang menyatupadu (totipotent) terbelah, yang memunculkan perkembangan suatu organisme baru, dan, benar peristiwa ini biasanya terjadi sebelum hari ke-14. Tetapi fakta munculnya organisme kembar yang mungkin terjadi sebelum hari ke-14 tidak menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa sebelum hari ke-14 embrio adalah kumpulan acak sel-sel yang menanti beberapa peristiwa terorganisir atau prinsip untuk membawanya menuju fungsi sesosok manusia yang utuh.
Beberapa mungkin belum teryakinkan. Bukti empiris, yang mungkin mereka permasalahkan, belum menempatkan pertanyaan seputar ketidaksahan (illegitimacy/kelancungan) etis dari eksperimen mematikan (lethal experiment) atas embrio awal manusia. Sebuah pemikiran eksperimen akan membantu kita memahami pertanyaan etis dari sudut pandang lain yang menguntungkan. Seandainya kamu adalah pilot militer dalam masa damai, kamu memerintahkan untuk mengetes bom-bom pembumi hangus pada target yang telah ditentukan, dan radarmu mengindikasikan adanya makhluk hidup yang tak teridentifikasi, banyak dan sedemikian banyak mahkluk itu, yang mengarah pada daerah kosong/nihil (ground zero); seandainya kamu berada dalam ketidakpastian, tetapi memiliki alasan yang baik untuk dipercayai, bahwa kemungkinan mereka adalah para penduduk yang tidak berdosa, akankah kamu secara etis mengabsahkan penjatuhan bom-bom pada daerah kosong berdasarkan alasan bahwa status dari objek yang terdapat dalam layar radar adalah tidak pasti?
Bukti empiris, jika tidak membuktikan dengan meyakinkan bahwa embrio awal manusia adalah mahkluk hidup yang layak bagi respek moral yang penuh, menyodorkan alasan-alasan yang baik untuk banyak penyimpulan. Pada akhirnya, bukti tersebut meninggalkan dalam benak kita keraguan yang serius. Dalam ketiadaan bukti yang konklusif untuk melawannya, bukankah para ilmuwan, pelaku klinik, instansi resmi atau siapapun dalam masalah itu, dituntut secara moral untuk memperlakukan embrio manusia sebagai mahkluk hidup yang utuh dengan hak penuh sebagai manusia dan menahan diri dari segala tindakan yang akan mendatangkan kesalahan fatal, seandainya dengan jelas diketahui embrio itu akan manjadi mahkluk yang hidup? Itu adalah dasar dari ajaran CDF yang mengatakah bahwa “ manusia perlu dihargai -sebagai pribadi- sedari awal keberadaannya” (Donum Vitae I, 1). Dan dalam Charter of the Rights of the Family, Bapa Suci menyatakan bahwa;” Hidup manusia secara mutlak perlu dihargai dan dilindungi sejak dari saat pembuahan (moment of conception).”

Pertanyaan tentang Kegunaan
Tetapi bagaimana dengan kebaikan besar yang dapat dihasilkan dari cloning untuk riset biologis? Bukankah tujuan tersebut secara sinyifikan memajukan sains dan pengetahuan klinis; bukankah prospek untuk melepaskan penderitaan dan kesusahan berat manusia mengesahkan percobaan yang menghancurkan mahkluk hidup yang belum berkembang? Ini menggoda untuk menjawab ya. Dan godaan itu meningkat ketika menahan diri untuk berbuat jahat memberi harapan pada keberlanjutan atau peningkatan prospek dari derita kemalangan (suffering evil).
Pertanyaan tersebut tidaklah baru. Itu adalah pertanyaan kuno dari legitimasi moralitas utilitarian, sebuah isu terkenal yang dihadapi Socrates ketika dia bertanya, Mana yang lebih baik berprilaku jahat atau menderita malang? (Is it better to do evil or to suffer evil?) Socrates, Plato, Aristoteles, dan seluruh tradisi Kristiani mulai St. Paulus hingga St. Agustinus serta Thomas Aquinas hingga Johanes Paulus II menjawab dengan satu suara yang tak terpatahkan: berprilaku jahat adalah menjadi jahat. (to do evil is to become evil.). Lebih lanjut, sebenarnya setiap agama besar di dunia dan filsafat moral yang berpengaruh merumuskan sebuah tuntutan moral yang umum, suatu norma moral universal yang relevan dengan masalah cloning; dan norma itu lebih kuno dibanding premis utilitarian. Kita menemukan tidak hanya dalam keKristenan tetapi juga Yudaisme, Islam, Budhisme, Hinduisme, Taoisme, Confusianisme, Sikhisme, Jainisme, Zoroastrianisme, Unitarianisme, dan kerohanian asli. Kristianitas mengatakannya Aturan Emas (Golden Rule): kita harus bertindak terhadap orang lain sebagaimana kita berharap orang lain bertindak atas diri kita. Itu menuntut kita untuk menempatkan diri kita, di dalam imajinasi kita, dalam posisi mereka yang dengannya kita tidak kenal secara biasa dan alamiah, seperti embrio kecil manusia, dan kita bertanya pada diri kita, seandainya aku berada dalam posisinya, perlakuan apa yang kita harapkan atas diri kita? Apakah masing-masing dari kita akan berharap dihasilkan dari sebuah laboratorium, dijadikan bahan ujicoba, dan kemudian dibunuh?
Jika alasan-alasan saya benar dan embrio manusia adalah makhluk yang utuh dan hidup, maka menghasilkannya secara aseksual, dan beruji coba atasnya untuk sebuah alasan yang tak terkait dengan kesejahteraannya, dan kemudian menghancurkannya menyangkut ketidakadilan yang berat: 1.} sebuah pelanggaran hak bagi identitasnya yang subjektif, 2.} sebuah pelanggaran atas haknya untuk hadir di dunia dalam konteks sebuah cinta perkawinan, 3.} sebuah pelanggaran atas haknya untuk tidak dieksploatasi secara berbahaya bagi tujuan-tujuan lain dan tanpa izin darinya, dan 4.} sebuah pelanggaran atas haknya untuk tidak dibunuh.


Key words:
cloning, the clone, the cloner, somatic, utilitarian ethic, epigenetic primodia, oocyte, zygote, therapheutic, sexual complementary, sexual differentiation, moment of conception, marital sexual intercourse, lethal experiment, Human reproductive cloning, therapeutic cloning, embryo, human being

Tidak ada komentar:

Posting Komentar