Selasa, 22 Maret 2011

Doa membutuhkan perjuangan

Ada saat mencinta, saat bimbang dan mempertanyakan, saat gusar dan saat ujian; terhadap semua ini kita harus menambahkan saat kita berjuang bersama Yesus, suatu perjuangan yang tidak pernah selesai. Perjuangan itu lebih seperti pergulatan Yakob di tempat penyebrangan sungai Yabok di malam hari, ketika “seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing” (kej 32:24). Ini merupakan suatu pergulatan melawan seseorang yang lebih kuat, yang tidak pernah menyerah kalah, dan fajar pengetahuan yang tersingkap dari selubungnya belum tiba.

Bukannya yakin bahwa kita melihat suatu kenyataan yang kokoh, karena kita berdua disibukkan olehnya dan masih disibukkan, saat ini masih malam. Saat ini lebih seperti pengalaman Elia, yang setelah angin, gempa bumi dan api, mendengar apa yang tampak seperti angin sepoi-sepoi basa, suatu desiran kecil, dan dia menutup mukanya dengan jubahnya: “Dan setelah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa. Dan segera sesudah Elia mendengarnya ia menyelubungi muka dengan jubahnya lalu pergi keluar dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi, ‘Apakah kerjamu di sini, hai Elia?’” (1 Raj 19:12-13).

Apakah engkau siap untuk percaya pada apa yang Aku katakan sebagai kata-kata yang berasal dari Allah? Apakah engkau siap mengenal tugas perutusan-Ku sebagai perutusan yang berasal dari Bapa di surga? Apakah engkau siap percaya pada-Ku secara total dan mendalam, seperti Petrus ketika ia berkata, “Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup.” (Mat 16:16)?

Pertanyaan reflektif di atas menjadi sarana untuk melihat sejauh mana relasi kita dengan Allah. Inilah tahap di mana iman kita diuji. Tahap ini melibatkan suatu loncatan yang riset pun tidak dapat membuat kita mengambilnya, suatu langkah yang harus kita jawab di dalam diri kita sendiri, pada hati nurani kita sendiri; suatu langkah yang meletakkan kita tidak di depan figur Yesus, tetapi di hadapan misteri Yesus, hubungan unik-Nya dengan Bapa, transendensi-Nya, maknanya bagi sejarah setiap orang dan sejarah seluruh kemanusiaan serta kemampuan-Nya untuk mewahyukan wajah Allah. Banyak pertanyaan baru, bahkan lebih sulit, muncul kemudian: Mengapa seseorang yang kita pikir begitu dekat dengan Allah, dikasihi Allah, menderita nasib kejam dalam hidup-Nya sendiri? Mengapa Dia tampaknya, dalam bahasa manusiawi, dikalahkan? Mengapa Dia tampak begitu lemah dan tak berdaya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar